Misteri Suap Wahyu Setiawan Dalam Proses Pleno, Ini Penjelasan Ketua KPU

Misteri Suap Wahyu Setiawan Dalam Proses Pleno, Ini Penjelasan Ketua KPU
Ketua Komisi Pemilihan Umum RI (KPU) Arief Budiman (Miftahul Hayat/Jawa Pos)
0 Komentar

JAKARTA-Meninggalnya calon anggota legislatif (Caleg) DPR RI dari PDI Perjuangan daerah pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan I, Nazarudin Kiemas awal mula operasi tangkap tangan (OTT) Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Pasalnya, lembaga antirasuah berhasil mencium “bau amis” dari rencana penetapan pergantian antarwaktu (PAW) Nazarudin. PDIP menginginkan PAW almarhum Nazarudin adalah Harun Masiku, bukan Riezky Aprilia seperti yang ditetapkan KPU.

Rabu (8/1), KPK berhasil membekuk 8 orang yang diduga mengetahui dan melakukan transaksi suap terkait kasus ini.Namun, dari 8 hanya 4 orang yang dijadikan tersangka. Yaitu, Komisioner KPU Wahyu Setiawan (WSE); mantan Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina (ATF); Caleg PDIP Dapil Sumsel I, Harun Masiku (HAR); dan satu orang pihak swasta bernama Saeful Bahri (SAE). Saeful yang juga pernah jadi caleg PDIP ini adalah orang dekat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Baca Juga:Sosok MQ-9 Reaper Pembunuh Jenderal Iran Qasem SoleimaniAnalisa Intelijen Barat Simpulkan Pesawat UIA Jatuh Bukan Akibat Tembakan Rudal

Hal yang ganjil dari proses penetapan pengganti Nazarudin ini mulai kentara, setelah Wahyu mencoba main belakang dari rekan-rekan di KPU, yang memutuskan menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai pengganti almarhum.

Ketua KPU RI Arief Budiman mengaku, tidak melihat gelagat Wahyu mau mengubah keputusan rapat pleno yang sampai dilakukan sebanyak tiga kali.

“Seingat saya untuk case (kasus) ini enggak ada pandangan berbeda. Sepanjang yang saya ingat tiga kali (rapat pleno) itu enggak ada yang berbeda,” ujar Arief di kantornya, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1).

Dalam rapat pleno pertama KPU yang digelar 31 Agustus 2018, Arief menerangkan seluruh komisioner sepakat, menetapkan Riezky Aprilia sebagai caleg perolehan suara terbanyak kedua setelah Nazarudin, yang berhak melenggok ke Senayan.

Keputusan itu secara jelas membatalkan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 19 Juli 2019, yang mengabulkan gugatan DPP PDIP tentang ‘partai sebagai pihak yang menentukan suara dan PAW’.

“Jadi ketika mengajukan judicial review ke MA, keluar putusan judicial review-nya. Putusan itu dikirimkan ke kita sekaligus permohonan berdasarkan itu. Sudah kita jelaskan enggak bisa,” ujar Arief.

Dua pekan kemudian atau tanggal 23 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA ke KPU dengan mengirimkan surat berisi penetapan caleg.

0 Komentar