SEBELUM peristiwa G30S meletus, Ketua CC PKI, D.N Aidit berkunjung ke Beijing. Di sana, Aidit bertemu ketua Partai Komunis Tiongkok (PKT), Mao Zedong. Mereka membicarakan situasi politik yang sedang terjadi di Indonesia; suksesi kekuasaan bilamana Presiden Sukarno wafat atau dilengserkan.
Tidak lama berselang, terjadilah peristiwa 1 Oktober 1965. Sukarno kemudian tumbang. Jenderal Soeharto naik tampuk kekuasaan mendirikan rezim Orde Baru. Selain PKI, penguasa Orde Baru mencurigai keterlibatan pemerintah Tiongkok dalam G30S. Pada 1967, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok diputuskan. Apakah benar penguasa Beijing berada di balik G30S?
Buku berjudul “Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok dan Etnik Tionghoa 1945-1947” karya Taomo Zhou memuat cuplikan dialog antara pentolan PKI DN Aidit dan tokoh komunis, sekaligus pendiri Republik Rakyat China, Mao Zedong.
Baca Juga:Gempa Kuat di Kuningan Tahun 1875: Sesar Baribis Aktif, Masyarakat di Kuningan Tetap WaspadaRUU Pesantren 2019 yang Sempat Dikritik Muhammadiyah, Ini Isi Lengkap UU Pesantren
Transkrip percakapan kedua sosok itu dihadirkan pada bab delapan yang mengangkat sub judul Tiongkok dan Gerakan 30 September, khususnya halaman 362-363 buku itu, dibuka dengan pertanyaan Mao Zedong.
Dari catatan di buku, transkrip percakapan itu bersumber dari arsip pusat Partai Komunis China, tertanggal 5 Agustus 1965.
“Percakapan antara Mao dengan Aidit barangkali merupakan bukti terkuat,” ujar Taomo Zhou, sejarawan Nanyang University dalam peluncuran dan bedah bukunya Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia Tiongkok, dan Etnik Tionghoa, 1945—1967 yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Keterlibatan rezim Mao dalam G30S selalu jadi perdebatan. Menurut Taomo, teka-teki itu dapat terjawab bila merujuk percakapan antara Aidit dan Mao. Transkrip percakapan keduanya tertanggal 5 Agustus 1965 tersebut tersimpan dalam arsip Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Lebih dari setengah abad mengendap, arsip tersebut dideklasifikasi secara bertahap pada 2007. Sebanyak 250 bundel arsip setebal 2000 halaman dibuka hanya terbatas kepada peneliti dan sejarawan. Namun sayangnya, pemerintah Tiongkok mereklasifikasi (menutup akses) arsip berharga itu pada 2013 tanpa alasan yang jelas. Taomo menjadi salah satu sejarawan yang beruntung bisa meneliti arsip-arsip itu untuk keperluan disertasi doktoralnya di Universitas Cornell. Disertasi Taomo yang berjudul “Diaspora and Diplomacy: China, Indonesia and The Cold War, 1945-1967” rampung pada 2015.