Nah, dari sini skeptisme itu muncul karena menyangkut apakah manusia yang memasukkan angka itu tidak terlepas dari kepentingan tertentu. Apakah angka itu akurat dengan kondisi ril di lapangan. Dan apakah itu juga bisa mendetailkan sisi human interest narasumber yang terwakili melalui angka tersebut.
Dari perbincangan singkat saya dengan fotografer senior yang baru saja selesai menikmati liburannya, jika melihat dari asalnya, ada dua sumber data dari jurnalisme model ini, pertama, data diraih dari hasil riset mandiri.
Kedua, memanfaatkan data pemerintah. Untuk yang kedua, kumpulan data tersebut bisa diperoleh melalui situs Badan Pusat Statistik (BPS), kementerian atau lembaga pemerintah lainnya. Terbaru, menurut Badri (2017), “Kehadiran portal satu Satu Data (http://data.go.id) sebagai portal resmi data terbuka Indonesia memberi ruang pemenuhan kebutuhan data publik bagi masyarakat termasuk jurnalis. Selain itu sumber data terbuka juga tersaji di berbagai situs multilateral seperti organisasi PBB, Bank Dunia, NGO Internasional, dan sebagainya”
Komparasi Riset Mandiri dan Data Publik
Baca Juga:Pembunuhan Jurnalis Malta: Terduga Pelaku Pembunuh Dibayar Rp 2,3 MBeredar Foto Polisi Masjid, Ini Penjelasannya
Sebenarnya ada solusi untuk membuang keraguan akan akurasi, yakni, mengkombinasikan riset mandiri lalu mengkomparasikannya dengan data publik. Ada yang menganalisa data di depan komputer dan ada yang melakukan verifikasi data dengan turun ke lapangan. Kedua mekanisme itu yang nantinya akan melahirkan field report yang lebih mendalam. Paling tidak, luaran dari kombinasi tersebut tidak hanya menghadirkan teks semata, tetapi juga bisa lebih variatif dengan adanya infografis yang dapat lebih dipertanggungjawabkan.
Jurnalisme data harus dipandang sebagai inovasi yang tidak bisa dihindari lagi dalam aktifitas penyajian data. Jurnalisme data sebagai produk dari teknologi informasi juga hadir atas permintaan manusia. Ini sesuatu yang harus diterima. Jika melihat dari sisi positifnya, ketersediaan data yang melimpah seharusnya dapat membantu jurnalis dalam menciptakan produksi berita berkesinambungan, mendukung jurnalisme investigatif dan melahirkan pemberitaan inovatif.
Terlepas dari skeptisme akurasi data, hal yang paling mendasar dari kehadiran jurnalisme data ini adalah jangan sampai implikasinya menggeser keberadaan jurnalis, baik itu reporter ataupun fotografer yang tergantikan dengan data analis, programmer atau sejenisnya. Bijaknya, perusahaan media harus membekali jurnalis dengan kemampuan analisis data hingga visualisasi data. Bukan menggantinya dengan profesi lain.