KALAU ada ‘kejuaraan terbanyak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi’ saya mengusulkan nama ini: Mohammad Sholeh. Dulunya ia kuliah ilmu politik. Setelah masuk penjara ia pindah jurusan: hukum. Tetap di universitas yang berafiliasi ke Golkar: Wijaya Kusuma Surabaya.
Sholeh masuk penjara karena kebanyakan demonstrasi. Di akhir zaman pemerintahan Pak Harto dulu. Ia memang aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) Surabaya. Lebih sering demonya daripada masuk kuliahnya. Boleh dikata ia ikut punya andil menjatuhkan pemerintahan Orde Baru. Tapi ia tidak pernah bisa ikut menikmati hasil perjuangannya itu.Ad by Valueimpression
Sholeh pernah seperti tokoh pusat PRD Budiman Sujatmiko: masuk PDI-Perjuangan. Agar bisa menjadi anggota DPR. Seperti juga Budiman ada indikasi ia bisa dicalonkan lewat partai itu.
Baca Juga:Viral Pedagang Sembako Tak Naikkan Harga di Tengah Kepanikan Virus CoronaBenarkah Senjata Biologis itu Ada?
Tapi Sholeh bukan Budiman. Ia dicoret justru sebelum jadi caleg. Kenapa? “Karena saya berseberangan dengan kebijakan partai,” katanya. Dalam proses menjadi calon itu Sholeh mengajukan gugatan ke MK. Isinya: minta agar calon terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak –bukan berdasarkan nomor urut.
Rupanya Sholeh sudah mendengar selentingan dari internal partai: namanya tidak akan di urutan atas –alias akan masuk daftar ‘calon nomor sepatu’. Itu tidak masalah bagi Sholeh. Asal, penentuan pemenangnya berdasar suara terbanyak. Sebenarnya perjuangan Sholeh itu berhasil. Gugatannya dimenangkan oleh MK. Hebat sekali. Bersejarah.
Tapi nama Sholeh sudah telanjur tidak masuk dalam daftar calon di PDI-Perjuangan. Sampai sekarang penentuan pemenang seperti itu masih berlaku. Itulah hasil perjuangan Sholeh. Hebat. Dalam sejarah hidupnya ia pernah bikin sejarah.
Atau jangan-jangan Mahfud MD yang hebat: sebagai hakim konstitusi Mahfud berani bikin putusan itu. “Pak Mahfud sih bilangnya begitu,” ujar Sholeh, merendah. Atau, Madura-lah yang hebat –dua-duanya orang Madura. Meski gagal jadi caleg PDI-Perjuangan Sholeh terus melakukan advokasi untuk ‘wong cilik’. Mulai dari tukang parkir, kaki lima, sampai beca motor.
Di kalangan itu, di Surabaya nama Sholeh sangat populer. Itu jadi modal langkah politik berikutnya: nyaleg lagi. Di Pemilu terakhir yang lalu. Kali ini lewat Partai Gerindra. Sial. Di sini pun ia mendapat nomor bawah. Tidak terpilih.