Selain itu, masih ada lagi kisah seram lainnya, misalnya saja para pendaki yang hilang saat sedang mendaki, binatang gaib berukuran besar yang entah muncul dari mana, dan misteri Puncak Manik. Manik merupakan nama salah satu puncak dari empat puncak Gunung Salak yang dipercaya menjadi kawasan kerajaan gaib Padjajaran.
Dipercaya menjadi lokasi berkumpulnya makhluk gaib, Puncak Manik kerap kali ditutupi kabut tebal yang datang secara tiba-tiba atau angin yang berhembus dengan kencang.
Di sisi lain, peristiwa meletusnya Gunung Salak masih menyimpan kontroversi. Diantaranya, disebut telah meletus pada awal tahun 1699, tepatnya tengah malam menjelang tanggal 5 Januari. Banyak referensi yang mengutip keyakinan ini, termasuk yang tercantum dalam Data Dasar Gunung Api Indonesia(Edisi Kedua) yang disusun oleh Badan Geologi pada 2011.
Baca Juga:Viral Video Warga Serbu Istana Bogor, Jubir: Kabar Presiden Bagi-bagi Sembako di Bogor Sabtu Malam, Itu Tidak BenarKelompok Anarko Trending Twitter Pagi Ini
Dikutip dari tulisan T. Bachtiar bertajuk “Gunung Salak Tidak Meletus Tahun 1699” yang dimuat dalam Pikiran Rakyat (2018), data dari Badan Geologi itu menyebutkan: “Tahun 1668-1699 terjadi erupsi samping dan erupsi normal, erosi yang merusak lingkungan di Gunung Salak II. Erupsi berupa letusan magmatik.”
Salah satu tulisan yang terhimpun dalam jurnal Duta Rimba (1999) terbitan Perum Perhutani juga menyebut Gunung Salak erupsi pada 1699 (hlm. 50). Letusan tersebut menghasilkan lahar dingin yang mendangkalkan sejumlah sungai di wilayah Jawa Barat yang mengalir sampai ke Batavia (Jakarta), termasuk Sungai Ciliwung.
Buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010) yang ditulis Restu Gunawan mengungkapkan, aliran lahar Gunung Salak—juga dari Gunung Gede dan Pangrango—menyebabkan pengendapan lumpur sungai yang nantinya membentuk Teluk Jakarta. Setelah Gunung Salak meletus pada 1699, lanjutnya, garis batas pantai bergeser 75 meter ke arah laut tiap tahun.
Tulisan Gunawan selaras dengan paparan Abdoel Raoef Soehoed dalam buku Banjir Ibukota: Tinjauan Historis dan Pandangan ke Depan (2002). Soehoed bahkan menuliskan bahwa letusan Gunung Salak tahun 1699 membuat Kota Batavia terkena hujan abu, juga dilanda arus lumpur yang besar (hlm. 27).
Referensi yang lebih tua, The Malay Archipelago (1869) karya Alfred Russel Wallace, tidak menyebut secara jelas apakah Gunung Salak memang mengalami erupsi pada 1699 itu. Wallace hanya menuliskan telah terjadi “letusan lumpur besar” dan meyakini setelah itu Gunung Salak sudah tidak aktif lagi (hlm. 174).