Islamofobia yang ada di negara itu selama beberapa dekade hanya bagian dari latar belakang kebencian terhadap orang Arab di Israel masa kini yang juga pada akhirnya memengaruhi persepsi pada wanita yang mengenakan jilbab.
Sejak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pertama kali berkuasa pada 1996, ia telah merendahkan politikus Arab dengan sebutan pendukung terorisme. Selain itu, ia menggunakan mereka sebagai alat politik untuk mengumpulkan dukungan sebelum pemilihan.
Namun, iklim kebencian tidak pernah mengecilkan hati Khatib dari mengejar mimpinya serta membuat perbedaan dalam lanskap politik Israel. Khatib menjelaskan, perempuan yang berambisi dalam politik diperlakukan secara berbeda dan dapat dibatasi dalam partisipasi pemilihan, tetapi ini lebih disebabkan oleh praktik budaya identitas yang ketat daripada agama. “Ada diskriminasi dari masyarakat,” kata Khatib yang seorang anggota parlemen itu.
Baca Juga:Bupati Mimika Minta Jokowi Tutup Freeport, Ada Apa?Mutammimul Ula, Ayah 10 Anak Hafidz Al-Quran Wafat
Dia ingat ketika pertama kali mengikuti pemilihan, orang-orang Israel akan mencoba menghalanginya dari mengadopsi apa yang mereka anggap sebagai perilaku maskulin dan komentar seperti politik bukan tempat bagi wanita. “Wanita akan mendatangi saya untuk mengatakan politik adalah tempat yang tidak benar-benar cocok atau bersih, dan kekuasaan ini seharusnya hanya ada di tangan laki-laki. Namun, ini berlaku untuk sejumlah kecil orang,” katanya.
Khatib percaya kehadirannya di panggung politik yang didominasi pria Israel menciptakan ruang yang sangat dibutuhkan wanita. Saat ini hanya 25 persen anggota parlemen di Israel yang merupakan perempuan.
Sebagai ibu empat anak berusia 54 tahun dari Desa Yaffa di Nazareth, Galilea, Khatib menginginkan perubahan untuk generasi berikutnya. “Saya ingin anak perempuan saya dan anak perempuan orang lain berada di tempat yang aman. Saya ingin tembok-tembok itu diruntuhkan dan pintu-pintunya terbuka untuk mereka, dan menghadapi lebih sedikit tantangan, dan itu bukan tidak mungkin,” tuturnya
Khatib telah menggunakan parlemen untuk menunjukkan kemampuannya dengan membantu komunitasnya menghadapi pandemi virus corona. Setelah menghabiskan 14 tahun mengelola pusat komunitas pertama di wilayahnya, Khatib memiliki wawasan tentang apa yang paling penting bagi penduduk setempat. Sementara Netanyahu dan Kementerian Kesehatan memusatkan perhatian mereka pada komunitas yang didominasi Yahudi, hal itu menjadi tekanan dari anggota Daftar Bersama yang memaksa pemerintah untuk mengambil tindakan di daerah lain.