Tahun lalu dirinya diundang menjadi pembicara dalam seminar internasional mengenai proses perdamaian di Semenanjung Korea yang diselenggarakan organisasi wartawan Korea Selatan.
Teguh mengatakan, praktik jurnalistik masih kerap menggunakan combative lens, yang melihat dialog sebagai sebuah pertempuran yang harus berakhir dengan kemenangan dan kekalahan. Hal ini membuat objektivitas menjadi kabur bahkan hilang.
“Terlalu banyak informasi yang ditulis wartawan yang menggunakan combative lens. Seolah-olah setiap dialog harus diakhiri dengan siapa yang menang dan siapa yang kalah,” ujar mantan Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat ini.
Baca Juga:Ada Jasa Layanan Pembersihan Bekas TKP, Hapus Jejak Pembunuhan hingga Bunuh DiriIsrael Luncurkan ‘Ofek-16’ Satelit Pengintai Berkualitas Tinggi untuk Intelijen Militer
Teguh mencontohkan bagaimana respon kalangan wartawan dan media mengenai kabar kematian pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, yang begitu ramai di bulan April lalu.
Karena sudah diberitakan media-media besar luar negeri, berita itu pun ditelan begitu saja oleh media-media di Indonesia.
“Saya berusaha untuk mencari tahu ke kontak-kontak yang saya punya, baik di Jakarta maupun di Pyongyang. Dan saya menemukan informasi yang saya yakini bahwa ia berada dalam keadaan yang baik-baik saja,” katanya lagi.
Setelah mendapatkan klarifikasi itu, Teguh membagikan informasinya ke kalangan wartawan.
“Mereka tanya: mana buktinya. Saya katakan: ini lucu. Waktu kalian menerima informasi pertama yan mengatakan Kim Jong Un meninggal dunia, tidak seorang pun yang bertanya mana buktinya. Tetapi ketika ada informasi yang saya sampaikan untuk menjelaskan sisi yang lain, semua ribut dan mempertanyakan buktinya,” urai Teguh.
Teguh mengatakan, penelusuran yang dilakukannya adalah bagian dari upaya untuk mendekati fakta, agar tidak sekadar larut dalam desas-desus yang berkembang.
Meski begitu, Teguh tidak menyalahkan media yang ikut mengabarkan desas-desus kematian Kim Jong Un pada saat itu.
“Karena jurnalistik itu tidak tentang kebenaran final atau kebenaran ilahiah. Tetapi kebenaran yang sifatnya fungsional yang menjawab pertayaan pada ruang dan waktu tertentu,” demikian Teguh. (*)