Contoh lain yang dipaparkan oleh Egi adalah Kementerian Pariwisata yang mengelontorkan dana sebesar Rp5 miliar untuk publikasi branding pariwisata melalui international online influencer trip paket IV.
“Tak jelas siapa saja influencer-nya. Itu berada di bawah Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran II,” kata Egi.
Dengan adanya temuan-temuan terkait pengeluaran anggaran jumbo untuk jasa influencer, kata Egi, lembaganya menilai bahwa Presiden Joko Widodo tak percaya diri dengan program-programnya sendiri sehingga harus menggunakan jasa influencer.
Baca Juga:Banjir Longsor di Ciganjur Sisakan Lumpur dan Genangan40 Orang Saksi Diperiksa, Kasus Dugaan Korupsi Pengalihan Aset Tanah Negara di Labuan Bajo
“Apabila ditelusuri lagi ke sumber-sumber lain dan pemerintah daerah, tak menuntup kemungkinan anggaran lebih besar dari itu,” kata Egi.
Egi juga mempertanyakan bagaimana akuntabilitas dan transparansi Pemerintah ketika menggunakan jasa influencer.
“Bagaimana Pemerintah menentukan bahwa suatu isu yang butuh bantuan influencer? Bagaimana Pemerintah menentukan individu yang layak jadi influencer? Ini belum jelas,” kata Egi.
Dengan seperti itu, Egi juga mempertanyakan apakah institusi kehumasan di setiap lembaga negara sudah berjalan baik dan optimal sehingga harus memakai influencer untuk sosialisasi kebijakan.
Penggunaan jasa influencer untuk sosialisasi kebijakan, kata Egi, rentan membawa Pemerintah untuk memiliki kebiasaan mengambil jalan pintas.
“Guna memuluskan sebuah kebijakan publik yang tengah disusun, Pemerintah gunakan jasa influencer untuk pengaruhi opini publik. Ini tidak sehat dalam demokrasi karena mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun dan tertutupnya percakapan dengan publik,” katanya. (*)