JAKARTA – Langkah pemerintah yang terus meningkatkan kerja sama bilateral dengan China di bidang pariwisata dikiritisi. Alasannya, turis asal China kurang memberi dampak bagi ekonomi lokal di daerah tujuan wisata.
Hal ini berdasarkan evaluasi bidang pariwisata Indonesia beberapa tahun terakhir. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengungkapkan, hal tersebut berdasarkan data dari berbagai pihak, mulai dari asosiasi wisata, masyarakat pemerhati, hingga pemerintah daerah di Bali contohnya.
“Faktanya, malah muncul praktik-praktik illegal sektor wisata, khususnya terkait dengan turis asal China yang berkunjung ke Bali,” kata Fiqri dalam keterangan resminya, Selasa (22/12).
Baca Juga:Gisella Anastasia Kembali Diperiksa, Polisi: Hasil Forensik Belum AdaNarkoba Jenis Baru, Ganja Diolah Jadi Bubuk Susu Cokelat
Praktik negatif tersebut bermula dengan dibukanya keran pariwisata RI sejak 2015 demi mengejar target kunjungan wisatawan mancanegara. Jutaan turis China yang berkunjung ke RI, khususnya ke Bali tiap tahunnya, ternyata tidak memberi dampak signifikan terhadap devisa pariwisata RI.
Pasalnya, malah muncul banyak agen perjalanan asing tak berizin. Khususnya yang dimiliki oleh warga negara China, membuka praktik dengan menjual paket wisata sangat murah ke Bali. “Ada yang menjual hanya US$ 60 per orang sudah all in,” imbuh politisi PKS ini.
Selain itu, para turis China yang dibawa oleh pemandu wisata mereka sendiri juga sengaja diarahkan untuk berbelanja hanya ke gerai-gerai yang sudah disediakan khusus untuk turis China, juga disinyalir tidak berizin.
Sistem pembayaran pun ternyata dilakukan secara cashless (non-tunai) menggunakan aplikasi pembayaran yang berasal dari China, seperti Wechatpay. “Nyaris tidak ada aliran dana dari turis China ke devisa kita kalau begitu,” ujarnya.
Ia melanjutkan, jika pemerintah belum melakukan langkah perbaikan atas fenomena kedatangan turis asal China yang sangat merugikan destinasi wisata tujuan, sebaiknya langkah bilateral urung dilakukan.
“Harusnya diurungkan, selama kita belum memaksimalkan lonjakan kunjungan wisman China tersebut agar berdampak secara ekonomi lokal, dan berprinsip mutualisme atau saling menguntungkan,” ujarnya.
Data 2019 sebelum pandemi menunjukkan, Malaysia masih merupakan negara penyumbang wisman terbesar sebanyak 2,98 juta kunjungan, disusul China dengan 2,072 juta kunjungan. Selanjutnya ada Australia dengan 1,38 juta kunjungan. Secara total negara-negara Oseania (termasuk Australia di dalamnya) menyumbang 1,6 juta kunjungan ke Indonesia.