BERITA-PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) tengah berada di ambang kebangkrutan dalam bisnisnya. Tidak hanya menanggung utang hingga Rp70 triliun, kondisi Garuda Indonesia juga diperburuk dengan okupansi penumpang yang anjlok imbas pandemi COVID-19. Akibatnya, maskapai pelat merah ini mengalami kerugian 100 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,4 triliun per bulan (dengan asumsi Rp14.300 per dolar).
Petinggi perseroan pun harus memutar otak agar dapat menjaga arus keuangan supaya bisa mempertahankan bisnis. Termasuk dalam hal ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pemegang saham.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan dalam sebulan beban biaya operasional sebesar 150 juta dolar AS. Sedangkan pendapatan hanya mencapai 50 juta dolar AS.
Baca Juga:Benarkah Pemerintah Batalkan Haji Tahun Ini karena Ada Utang ke Arab Saudi?Detik-detik Benda Diduga Meteor Jatuh di Gunung Merapi
“Jadi setiap bulan rugi 100 juta dolar. Memang sudah tidak mungkin lagi kita lanjutkan dalam kondisi seperti ini. Memang kita harapkan dukungan dari anggota dewan untuk masuk dalam proses restrukturisasi berat,” katanya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis, 3 Juni.
Tiko sapaan akrabnya, mengatakan untuk melakukan proses restrukturisasi setidaknya membutuhkan waktu selama 270 hari dengan proses hukum yang panjang dan melelahkan. Selain itu, kata dia, prosesnya juga dilakukan di hadapan internasional karena krediturnya merupakan investor ataupun perbankan dunia.
“Memang ada risiko kalau proses restrukturisasi ini kemudian kreditur tidak menyetujui atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda Indonesia bisa terjadi, tidak mencapai kuorum dan akhirnya bisa jadi menuju kebangkrutan. Ini yang kita hindari,” ucapnya.
Untuk melancarkan aksi restrukturisasi, kata Tiko, pemerintah sedang menunjuk konsultan hukum dan konsultan keuangan dalam waktu dekat. Sembari menunggu proses restrukturisasi, untuk menjaga arus keuangan moratorium atau penundaan penerbangan pun akan dilakukan., khususnya untuk rute-rute yang kurang produktif.
Tiko berujar apabila proses restrukturisasi berjalan dengan lancar dan mengalihkan biaya operasional maka dapat menghemat pengeluaran hingga lebih dari 50 persen. Menurut dia, langkah ini juga dapat menambah panjang napas perseroan hingga kondisi industri penerbangan semakin kondusif. (*)