Salah satu poin dari Pasal 5 di Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan baik KTP dan KK, dikhawatirkan berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap warga negara.
Dalam pasal itu disebutkan, jika membolehkan warga negara menggunakan gelar pendidikan, adat dan keagamaan dicantumkan di KK dan e-KTP yang penulisannya dapat disingkat.
Potensi terjadinya diskriminasi diungkap Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah. Dia menyebut tidak semua warga negara di Indonesia memiliki gelar pendidikan, agama dan adat.
Baca Juga:Para Pemain yang Segera Tinggalkan Chelsea, Siapa sajaPPKM Jawa-Bali Diperpanjang, Jabodetabek Berstatus Level 1 Termasuk 41 Daerah Lainnya
Lewat aturan tersebut dikhawatirkan memunculkan terjadinya pembagian kelas di kalangan masyarakat. Padahal, kata dia, tujuan Bangsa Indonesia memerdekakan diri untuk menghapuskan kelas-kelas yang dibuat oleh Kolonial Belanda.
“Kita kan merdeka agar tidak ada lagi kasta-kasta, kelas-kelas. Nah, ini-kan akhirnya memunculkan kasta-kasta dan kelas-kelas, pada akhirnya diskriminasi kembali lagi,” ujar Trubus kepada Suara.com, Selasa (24/5/2022).
Aturan tersebut juga berpotensi membuat kegaduhan di masyarakat. Dia mencontohkan masyarakat Jawa banyak yang bangga dengan gelar bangsawan atau bagian dari keluarga kraton.
“Di Jawa itu ada gelar raden mas, nanti dikhawatirkan terjadi penjualan gelar. Padahal, orang berdarah biru sama saja dengan warga negara pada umumnya. Yang penting kan bermanfaat bagi negeri ini,” ujarnya.
Di samping itu, dia juga mengatakan masih ada masyarakat yang masih marah, jika gelar haji tidak dicantumkan saat dilakukan pendataan.
“Kayak di kampus saya saja, ada orang yang marah gelar hajinya tidak ditulis, padahal untuk apa, kalau di kampus,” ujarnya.