Kangen Wamen

Kangen Wamen
0 Komentar

“Maka kita bagi tugas. Bapak yang urusi kantor, administrasi dan birokrasi,” tambah saya.Saya masih menambahkan: “Saya ini tidak tahu peraturan. Tidak pernah membaca peraturan. Jadi, bapaklah yang menentukan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh”.Akhirnya saya mengatakan: “Ibarat perusahaan, bapak ini Dirutnya. Saya Chairmannya. Saya akan lebih banyak di luar kantor. Menerjuni perusahaan-perusahaan BUMN. Bapak yang mengendalikan staf.”Beliau setuju sekali. Saya pun senang mendengar persetujuannya.Rapat staf mingguan (harus hari Selasa, harus dimulai jam 07.00 dan tidak boleh lebih dari 2 jam) memang saya yang memimpin. Tapi semua keputusannya harus dilihat beliau: apakah ada yang melanggar peraturan.Karena itu semua putusan harus ikut ditandatangani wamen.Saya tidak pernah bertengkar dengan wamen. Di luar maupun di dalam selimut.Saya juga tidak pernah mengajak wamen ikut kunjungan ke mana-mana. Agar lebih produktif.Pembagian tugas seperti itu atas inisiatif saya sendiri. Saya tidak tahu apakah ada UU atau peraturan yang sebenarnya mengaturnya.Akhirnya saya bersyukur diberi wamen. Saya bisa lebih banyak punya waktu untuk ke lapangan. Toh saya tidak menyukai kerja di belakang meja.Selama menjadi menteri saya belum pernah sekali pun duduk di kursi menteri. Di ruang kerja memang disediakan meja dan kursi. Tapi saya ‘takut’ duduk di situ. Takut kok seperti menteri beneran.Saya biasa menerima staf atau tamu di meja rapat. Di situ pula saya membaca dan menandatangani apa yang harus saya tandatangani. Yang pasti sudah ada paraf wamen. Pertanda sudah ‘bersih’. Sudah tidak ada yang melanggar peraturan, menurut pandangan beliau.Sejak tidak lagi menjadi sesuatu saya belum pernah bertemu beliau. Saya begitu sibuknya.

Saya kangen. (Dahlan Iskan)

Laman:

1 2
0 Komentar