Mewaspadai Pelaksanaan Shalat Idul Fitri Sebagai Klaster Baru Penularan Covid-19

Mewaspadai Pelaksanaan Shalat Idul Fitri Sebagai Klaster Baru Penularan Covid-19
Dr H Ansori MAg
0 Komentar

Salah satu anugerah Allah yang sangat berharga dan mulia adalah akal. Dalam al-Qur’an Allah mengutuk manusia yang tidak mau menggunakan akalnya (afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tandzurun, dan semisalnya). Bagi manusia yang tidak menggunakan akalnya, Allah menyamakannya dengan binatang, bahkan lebih rendah. Karena memang akal-lah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

Virus corona yang terjadi sekarang ini adalah hal yang nyata. Karena itu dalam memahaminya harus realistis. Realistisitas antara lain dapat diperoleh dari ahlinya, dan yang ahli tentang virus corona salah satunya adalah dokter. Statmen para ahli yang kita terima antara lain  adalah bahwa virus corona berpotensi menular di kerumunan manusia. Dan dalam banyak kasus di Indonesia virus corona ada pada seserorang dengan tanpa gejala (OTG) karena imunnya bagus.

Ketika OTG ini berada dikerumunan maka  sangat potensial virusnya menular kepada orang lain yang berdekatan. Untuk mengetahui yang OTG dalam jamaah shalat Idul Fitri tentu tidak mudah dan juga tidak ada yang bisa menjamin tidak ada yang OTG. Oleh karena berfikir antisipatif dan ihtiyath (hati hati) dalam persoalan ini diperlukan.

Baca Juga:Hacker Ancam Rilis 169 Email Rahasia Memalukan TrumpJokowi Ajak Rakyat Berdamai dengan Corona, Jawaban JK Telak: Kalau Virusnya Gak Mau Gimana?

Berpikir antisipatif dalam metode penetapan hukum Islam dikenal dengan metode sad al-dzariah yaitu dalam konteks ini menghindari kemungkinan terjadinya bahaya yaitu penularan virus corona dengan didasarkan atas prediksi akal. Prediksi akal ini tentunya didasarkan  ilmu pengetahuan (sains) dan contoh empris. Menghargai ilmu pengetuhuan merupakan sesuatu perintah agama. Menjadikan sesuatu yang empiris (waqi’iyyah) sebagai i’tibar (pelajaran) juga perintah agama.

Mengutip pendapat Masdar Hilmy, menggunakan fakta empris yang telah teruji dan terbukti (nalar aposteriori) dan  bukan nalar apriori adalah sangat bijak untuk melihat kasus Covid-19 ini secara komprehensif.

Memaksimalkan peran akal tidak berarti menafikan keyakinan beragama atau fungsi spiritual. Sebagai orang beragama (Islam) pendekatan vertikal-spiritual tetap harus dilakukan secara  maksimal. Karena titik sentral semuanya adalah Allah. Menafikan fungsi spiritual adalah pengingkaran terhadap keterbatasan akal itu sendiri. Pengingkaran terhadap keterbatasan akal akan memunculkan kesombongan dan sekaligus pengingkaran terhadap Maha KuasaNya. Namun, sekali lagi, mengutip tulisan A Helmy Faisal Zaini, keyakinan beragama bukan berarti mengeliminasi peran akal. Keduanya harus seiring dan berjalan harmonis.

0 Komentar