Tahi Napoleon

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan
0 Komentar

Prof Hikam kelihatannya menjadi penegak pikiran Gus Dur. Komentar itu langsung ia jawab: “Fikih dengan hukum Indonesia beda, Kyai”.

Soal ”beda” itu dijawab lagi oleh yang menganut fikih tadi: “Hukum pemerintahan dan hukum di dalam tahanan beda”. Ia ini punya alasan: “Saya sepakat, adanya shock terapy terhadap mereka yang melecehkan agama. Biar ke depannya gak ada lagi org seperti Kece jilid 2 dst”.

Prof Hikam didukung anggota grup lain: “Nabi pernah dihina-hina oleh orang kafir, bahkan ditawari malaikat Jibril untuk menghabisi mereka, tapi nabi memilih mendoakan mereka agar diberi hidayah. Jika setiap orang yang menghina Nabi lalu kita penggal kepalanya mungkin tidak muncul Umar bin Khattab yang makamnya di sebelah Nabi”.

Baca Juga:Ganjar Pranowo Harusnya Mulai Berkemas Tinggalkan PDIPNakes Honorer 5 Tahun Ini 3 Hari di Jurang Hanya Minum Air Hujan Saat Diburu Teroris KKB di Kiwirok

Saya suka mengikuti pembicaraan di grup Santrine Gus Dur itu. Misalnya ketika membahas musik itu halal atau haram ­–terkait ketakutan atas Taliban 2.0 yang akan kembali mengharamkan musik.

Kelihatannya dalil yang dipakai untuk mengharamkan musik sangat kuat. Tapi dalil yang dipakai untuk tidak mengharamkan juga ada. Saya sendiri suka dengan posting-an seorang kiai berikut ini. Yakni yang berisi jawaban filsuf Islam Jalaluddin Rumi –saya pernah ke makamnya di Turki– ketika ditanya: musik seperti apa yang diharamkan dalam Islam.

Rumi menjawab: “yang diharamkan adalah musik dari suara dentingan sendok dan piring yang didengar orang miskin yang kelaparan”.

Dahlan Iskan

0 Komentar