20 Tahun Desentralisasi, Menurut Guru Besar ITB

20 Tahun Desentralisasi, Menurut Guru Besar ITB
Prof. Ir. Tommy Firman M.Sc., Ph.D. (Foto: Adi Permana/Humas ITB)
0 Komentar

BANDUNG-Konsep desentralisasi pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi terjadinya disparitas wilayah dan menghasilkan pemerataan pembangunan di suatu daerah. Namun menurut Prof. Ir. Tommy Firman M.Sc., Ph.D., jika dilihat dari perspektif pengembangan wilayah, desentralisasi di Indonesia masih belum maksimal dampaknya.

Menurut Guru Besar pada Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) itu berpendapat, bahwa desentralisasi di Indonesia masih tergolong muda. Kebijakan tersebut baru diterapkan tahun 1999, setelah Orde Baru atau kira-kira baru berumur 20 tahun. Beda halnya dengan Amerika yang sudah berusia 200 tahun dalam menerapkan desentralisasinya.

Dia mengatakan, kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya masih menjadi kekuatan dalam ekonomi dan pembangunan. Sementara daerah lainnya masih belum sepenuhnya terbangung. Kesimpulan tersebut ia tuliskan dalam risetnya tentang menyambut dua dekade desentralisasi di Indonesia: Sebuah perspektif pembangunan daerah.

Baca Juga:Nasib Museum Bentoel Dijual?NKRI Harga Mati: Benny Wenda Tak Berhak Mengatur, Ini 10 Tuntutan Perwakilan Papua

Riset tersebut mengangkat dua pertanyaan penting, pertama apakah disparitas daerah di Indonesia terjadi penurunan sejak diimplementasikannya kebijakan desentralisasi pada 2000-an? Dan kedua, sejauh mana spasial fragmentasi di Indonesia dari hasil implementasi desentralisasi tersebut?

Dijelaskan Prof. Tommy, berdasarkan hasil risetnya tentang desentralisasi diketahui bahwa disparitas daerah antar provinsi di Indonesia sedikit meningkat di dua dekade awal era desentralisasi. Selain itu juga ditemukan bahwa kebijakan nasional dan turunannya, berkontribusi secara signifikan menuju proses pembentukan megaregion di pulau Jawa.

“Dampak positif dari desentralisasi memang ada, misalnya telihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengembangan wilayah tersebut. Kemudian juga partisipasi politik lebih mencuat dibanding masa orde baru. Pemerintahan daerah lebih mandiri dalam pengembangan wilayah. “Secara in overall, pengurangan disparitas masih belum, artinya perlu ada polcy lain yang menunjang,” katanya kepada Humas ITB.

Selanjutnya, Prof. Tommy juga melakukan riset mengenai mega-regionalisasi di Jawa. Dalam risetnya tersebut berfokus pada tiga dimensi pembangunan kota, yaitu urban forms, urban flows, dan urban economics. Riset tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa megaregion di Jawa menunjukkan tanda-tanda proses perkembangan urbanisasi yang pesat, terutama terlihat dari interaksi antara Jakarta- Bandung dan Surabaya-Malang.

0 Komentar