“Mensesneg Sa’adilah Mursyid menjawab, Pak (maksudnya B.J Habibie), semua telah berubah, pukul 22.00 WIB kurang sepuluh menit, saya dipanggil Pak harto. Pak harto yang biasanya konsisten, keras kepala dan kepala batu telah berubah. Bilang sama Habibie pukul 09.00 WIB (besok pagi), Pak Harto akan mundur. persiapkan semua di istana merdeka,” demikian dalam buku Haji Harmoko itu.
Dijelaskan pula, dalam kondisi saat itu, tidak ada pilihan lagi buat Presiden Soeharto, ketika satu-persatu “orang terdekatnya” atau para pembantunya telah “meninggalkannya.”
Suasana di kediaman presiden Soeharto juga dalam keadaan tegang, Probosoetedjo detik perdetik selalu mengikuti perkembangan terakhir dan apa yang terjadi maupun informasi yang didapat selalu disampaikan kepada Presiden Soeharto, termasuk memberikan informasi terkini mengenai tuntunan yang terjadi di DPR. Tentu ini menyangkut pernyataan pimpinan DPR, dan aspirasi yang muncul dari masyarakat dan mahasiswa, yang secara bergelombang datang ke “rumah rakyat” itu. Selain itu juga kabar akan ada orang-orang yang akan bergerak ke Monas, serta perkembangan dari luar negeri.
Baca Juga:Sebelum Terpilih Jadi Ketua KPK, Firli Klarifikasi Soal Pertemuannya dengan TGBSuara Tertinggi, Firli Bahuri Jadi Ketua KPK
Dengan kata lain, Menurut Bung Harmoko, dengan telah diminta oleh DPR agar dengan arif dan bijaksana presiden Soeharto mengundurkan diri, ini berarti secara konstitusional telah benar sesuai dengan mekanisme hukum ketatanegaraan. Apalagi presiden Soeharto selalu menekankan pentingnya cara-cara, prosedur dan mekanisme yang konstitusional, dan ini telah dilakukan pimpinan DPR.
Pada malam itu juga, sekitar jam 23.00 WIB, Presiden Soeharto, memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneng Sa’adilah Mursyid dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, ia (Soeharto) sudah bulat hati untuk menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Panglima ABRI Jenderal Wiranto, sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan presiden Soeharto. Sang jenderal ini perlu berbicara dengan para Kepala Staf angkatan mengenai sikap yang akan diputuskan ABRI dalam mensikapi apa yang telah menjadi keputusan Presiden Soeharto untuk mundur dan menyerahkan kepada wakilnya.
“Usai mencapai kesepakatan dengan Panglima ABRI, Presiden Soeharto kemudian memanggil BJ Habibie.