Himbauan itu tak urung membuat Jakarta menjadi panggung protes. Sehari sebelum istana dikepung, Kepala Intel Biro Informasi Perang, Zulkifli Lubis, sudah menghubungi ajudan Sukarno tentang pengerahan massa tersebut. Bahkan Kolonel Moestopo yang mengorganisir demonstrasi itu sudah diminta membatalkan niatnya. Namun, demonstrasi tetap terjad. Puncaknya moncong meriam diarahkan ke istana atas arahan Kemal Idris.
Di dalam istana, Sukarno dan para panglima yang dipimpin Nasution berunding. Nasution menuntut parlemen dibubarkan. Sukarno menolaknya dengan marah; dia tidak ingin menjadi diktator dan masih percaya dengan demokrasi.
“Mataku terbakar karena marah. Engkau benar dalam tuntutanmu, akan tetapi salah di dalam caranya. Sukarno tidak akan sekali-kali menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia!” tegasnya dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.
Baca Juga:Tanpa Tanda Tangan Presiden, Ini Pasal-pasal UU KPK yang Mulai AktifUU Berlaku, KPK Tegaskan Tetap Lakukan Operasi Tangkap Tangan
Sukarno lalu keluar dan menenangkan massa. Setelah menasihati mereka akan pentingnya parlemen sebagai sarana demokrasi, layaknya seorang ayah kepada anaknya, tensi massa mulai menurun. Disusul teriakan-teriakan “Hidup Bung Karno!” Massa, baik sipil maupun militer, bubar dengan teratur.
Percobaan “separuh kudeta” itu, sebagaimana Nasution sendiri menamakannya, gagal total.
Tak lama kemudian, Nasution dicopot sebagai KSAD, digantikan Bambang Sugeng, kawan dekat Bambang Supeno. Namun, Sukarno nanti mengangkat kembali Nasution dengan alasan “menjaga persatuan.” Di daerah, para perwira pendukung gerakan 17 Oktober 1952, dikecam oleh anggota resimennya. Salah satunya adalah Panglima Teritorium Indonesia Timur Kolonel Gatot Subroto yang sempat ditangkap oleh kepala stafnya, Letkol JW Warouw.
Sejarah mencatat bahwa peristiwa 17 Oktober 1952 itu, “merupakan titik tolak hilangnya kepercayaan TNI terhadap kejujuran politisi sipil,” ujar Simatupang. Sejak itulah TNI terlibat politik praktis secara terbuka. (*)