SEORANG penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia seorang penggubah origami. Ia membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang. Sebab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan.
Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning.
Origami, di situ, mengandung dan mengundang perubahan. Berbeda dengan kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat dengan lem atau dijahit mati. Ia bernilai karena ia sebuah transformasi dari bahan tipis dan rata jadi sebuah bentuk yang kita bayangkan sebagai, misalnya, burung undan. Dan pada saat yang sama, ia mudah diurai kembali. Begitu juga penulisan sejarah: ia bernilai karena ia mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak bisa diberi bentuk yang sudah dilipat mati.
Penulis selalu teringat ini tiap 10 November
Baca Juga:Hari Pahlawan Diperingati Sejak 1958 di BaliSudah 5 Bulan Laporan Sekolah Ini Rusak, Belum Ditanggapi Pemkab
Di hotel dengan gaya art deco yang elegan dari masa sebelum perang itu, sebuah tim Anglo-Dutch Country Section menempati kamar No. 33.
Di jalanan, juga di Jalan Tunjungan itu, Surabaya serak oleh suara kemerdekaan. Republik Indonesia baru berdiri, dengan bangga, yakin, nekat, cemas. Ini revolusi, Bung, kita tak akan biarkan kolonialisme kembali! Surabaya mendengus siap perang. Sebuah transisi besar terasa tegang sampai ke saraf kaki.
Bisa diduga kenapa tim yang terdiri atas sekitar 20 orang asing itu ada di sana. ADCS adalah organisasi intelijen gabungan Inggris-Belanda yang berpusat di Kolombo, Sri Lanka. Kamar No. 33 hotel itu jadi kantor mereka untuk beroperasi. Mereka harus bekerja agar Indonesia tak lepas dari kekuasaan Belanda.
Ada yang simbolik dari hotel yang kini bernama ”Majapahit” itu. Penulis coba bayangkan hari itu perasaan orang-orang Belanda yang ada dalam Kamar No. 33. Ketika mereka datang, hotel yang dibangun di tahun 1910 oleh Lucas Sarkies, orang Armenia, itu telah berubah nama; sampai tahun 1943, namanya ”Oranje”. Kemudian Jepang datang, pemerintahan Hindia Belanda bertekuk lutut, dan hotel itu jadi ”Yamato”—yang juga markas tentara. Militer Jepang telah mengambil alih semuanya, juga nostalgia. Dan ketika di bulan September 1945 Jepang tak berkuasa lagi, ”Nederlandsche Indie” juga sudah tak ada. Di mana-mana terdengar pekik ”Merdeka”, dan ribuan orang siap mati untuk kemerdekaan itu.