10 November, telah jadi sebuah institusi. Manusia memerlukan itu: patung, ritual, dan upacara. Tapi itu juga yang membuat kita memandang masa lalu sebagai sebuah bentuk yang disederhanakan dan diperindah—seperti origami. Di balik 10 November sebagai sebuah ingatan yang dilembagakan, ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya: para pemuda yang dengan semangat berapi-api dan bentrokan tak dapat dielakkan. Seorang Belanda tewas ditikam. Empat orang pemuda Surabaya mati. Beberapa orang memasang tangga dan mencapai tempat tiang dipasang. Merah-Putih-Biru itu pun diturunkan. Warna birunya digunting, lalu dibuang. Sisanya, kini jadi Merah-Putih, dikibarkan di tempat yang semula. Di Jalan Tunjungan orang ramai menyaksikan bendera itu naik. Dengan mata yang jadi basah, mereka berseru, ”Merdeka! Indonesia merdeka!”
Yang menarik dari insiden itu ialah bahwa ”Indonesia” tak dipacak oleh konsep yang jelas dan lengkap, melainkan oleh perbuatan orang-orang yang tiba-tiba jadi dahsyat, seakan-akan tiwikrama, seakan-akan berubah dalam sebuah proses di mana kebenaran menggugah. Hari itu ”Indonesia” lahir dalam sebuah kejadian yang transformatif: untuk meminjam kata Alain Badiou, karena subyek yang bangkit oleh l’événement.
Tapi kebangkitan itu bukanlah suatu mukjizat. Ia tak datang dari langit. Merah-Putih itu beberapa menit yang lalu adalah Merah-Putih-Biru. Sebagaimana Merah-Putih-Biru itu juga lahir dari sejarah, dan sebab itu sebenarnya tak kekal (dulu ia disebut ”Oranje-Wit-Blau”), ”Indonesia” muncul bukan dari ketiadaan total. Ada masa lalu yang tetap membayang.
Baca Juga:Hari Pahlawan Diperingati Sejak 1958 di BaliSudah 5 Bulan Laporan Sekolah Ini Rusak, Belum Ditanggapi Pemkab
Tapi pada sisi lain, ”Indonesia” berkibar setelah sebuah pemotongan. Ada yang ditiadakan dari bendera yang terpasang di atas Hotel ”Oranje” jam 6 pagi tadi. Itu sebabnya saya selalu ingat: peristiwa di Hotel ”Oranje” itu sesuatu yang heroik, tapi para pahlawan memberi kita sebuah warisan yang terbelah dan kurang.
Ia terbelah, karena di satu pihak ia lahir dari sebuah kejadian yang transformatif. Tapi di lain pihak, masa lalu—bahkan masa lalu yang traumatik—terus-menerus membayanginya. Ia kurang, karena memang begitulah ia dibentuk: dari pemotongan.
Maka Indonesia tak akan henti-hentinya mendamba, berhasrat, agar dirinya utuh. Ia punya utopianya sendiri yang tak akan pernah ada: Indonesia sebagai sebuah harmoni yang lengkap. Tapi utopia itu bukanlah khayal tempat kita lari menghibur diri dari pedihnya ketakutuhan dan kekurangan. Utopia itu, untuk meminjam kata Paul Ricoeur, adalah ”satu tangan kritik”.