Pada Abad Pertengahan (Abad ke-5 hingga Abad ke-15), tren penggunaan senjata biologis dalam peperangan paling kondang adalah menyebar wabah penyakit via mayat maupun bangkai hewan yang membusuk. Itu dilakukan antara lain oleh pasukan Mongol di abad ke-13, pasukan Tartar (abad ke-14), dan pasukan Inggris pada 1340 kala mengepung kota Thun-l’Évêque di awal Perang 100 Tahun.
Penggunaan senjata biologis tertutup oleh penggunaan senjata konvensional dan senjata kimia seiring perkembangan senjata konvensional pada abad ke-20. Meski sejumlah negara tetap punya program senjata biologis, hanya ada sedikit catatan tentang penggunaan senjata biologis. Antara lain, penggunaan senjata biologis untuk misi-misi sabotase di Perang Dunia I (1914-1918).
“Di era modern, Jerman adalah negara terdepan dalam studi bakteriologi dan memulai pengunaan agen biologis. Antara 1915 dan 1917 sabotase biologis dilancarkan di Argentina, Rumania, Skandinavia, Spanyol, dan Amerika. Tujuannya mengganggu suplai hewan bagi musuh dengan menginfeksi kuda-kuda serta keledai-keledai militer, hingga hewan-hewan ternak,” tulis D. B. Rao dalam Biological Warfare.
Baca Juga:Jubir Penanganan Virus Corona Sebut Orang yang Kontak Langsung dengan Pasien Positif Corona DitemukanDaerah yang Berpotensi Hujan Dengan Intensitas Tinggi
Infeksi biasanya dilakukan dengan menularkan bakteri anthrax (bacillus anthracis) dan glanders (burkholderia mallei). Penggunaan bakteri-bakteri itu, terutama anthrax, masih tetap digunakan di masa Perang Dunia II (1939-1945).
“Di Perang Dunia II Inggris mengujicobakan efektivitas bacillus anthracis di udara terbuka dengan domba-domba mereka di Kepulauan Gruinard, serta memproduksi kue-kue yang terkontaminasi spora-spora anthrax. Mereka bermaksud menggunakannya sebagai langkah balasan jika Jerman menginvasi Inggris,” sambung Rao.
Jepang, lanjut Rao, juga diketahui memproduksi ribuan kilogram bakteri anthrax serta ratusan bakteri glanders. Di tengah berkecamuknya Perang Pasifik, Jepang mengembangkan bom-bom yang mengandung bakteri anthrax yang sudah diujicobakan dampaknya terhadap manusia. Konon, Jepang memanfaatkan sejumlah tawanan perang sebagai “kelinci percobaannya”.
Usai Perang Dunia II, pengembangan senjata biologis tetap eksis di negara-negara pemenang perang meski bergulir di bawah bayang-bayang pengembangan nuklir. Roda pengembangan teknologi senjata biologis dari waktu ke waktu makin mengerikan. Hal itu menyadarkan mereka untuk mengrem pengembangannya mengingat makin intensnya situasi Perang Dingin.