Namun, ketika merekomendasikan kebijakan pengendalian epidemi China kepada dunia, WHO mengabaikan faktor eksternal, dari kerusakan ekonomi, terabaikannya perawatan banyak pasien non-corona, kesengsaraan psikologis, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Tidak mengherankan strategi penahanan China efektif, ujar Richard Neher, ahli virus di University of Basel.
“Penguncian besar, karantina terpusat, dan pelacakan kontak pasti mempercepat penurunan,” kata Neher.
Baca Juga:Ini Panduan Gunakan Aplikasi Video Conference yang Aman Menurut Badan Siber dan Sandi NegaraLima Daerah Jabar Sepakat Ajukan Status PSBB Bersamaan
Lawrence O. Gostin, direktur Pusat Kolaborasi WHO tentang Hukum Kesehatan Nasional dan Global di Universitas Georgetown, merekomendasikan langkah-langkah kesehatan masyarakat standar seperti pengujian, perawatan, pelacakan kontak, dan isolasi atau karantina “dibenarkan secara ilmiah.” Lagi-lagi risiko pelanggaran HAM dinafikan dengan sengaja dalam diskusi ini.
Sementara, meningkatnya jumlah kasus di tempat lain menunjukkan, China tidak sendirian dalam kegagalan pada tahap awal wabah. Kisah lengkap tentang kerugian Tiongkok mungkin tidak akan pernah diketahui, dan tentu saja tidak diakui oleh WHO atau badan lain. Salah satu alasannya adalah data resmi dari Tiongkok seringkali sangat meragukan dan berpotensi memicu kesalahan yang sama di negara lain.
Tak terhitung kasus orang yang sekarat di Wuhan–beberapa di antaranya dideskripsikan di media sosial–mungkin tidak akan pernah masuk ke statistik. Sementara sebuah laporan oleh Caixin di provinsi Heilongjiang, China mengatakan, sebagian besar kasus tanpa gejala belum dilaporkan, yang jumlahnya sekitar 50 persen.
“Saya pikir kesuksesan terbesar dari Partai Komunis China adalah membuat WHO hanya fokus pada sisi positif dari tanggapan China dan mengabaikan sisi negatifnya,” kata Steve Tsang, direktur Institut China di SOAS University of London, dilansir dari Foreign Policy.
“Dengan WHO menghadirkan tanggapan China dalam sudut pandang positif, pemerintah Xi Jinping dapat membuat kampanye propaganda demi menutup kesalahan masa lalunya yang mungkin mengorbankan nyawa manusia, kerugian sosial, dan ekonomi.”
Memang, WHO menutup mata terhadap masalah seperti itu.
“Tiongkok melaporkan dan mengisolasi seluruh individu yang terinfeksi COVID-19,” kata Christian Lindmeier, juru bicara WHO, pada pertengahan Maret. Namun, negara ini dinilai tak cukup terbuka atas data penderita COVID-19 tanpa gejala.