Hardi agung-agung samya,Huru-hara nggêgirisi,Gumalêgêr swaranira,Lahar wutah kanan kering,Ambleber angêlêbi,Nrajang wana lan desagung,Manungsanya keh brastha,Kêbo sapi samya gusis,Sirna gêmpang tan wontên mangga puliha.
Gunung berapi semua,Huru hara mengerikan,Menggelegar suaranya,Lahar tumpah kekanan dan kekirinya,Menenggelamkan,Menerjang hutan dan perkotaan,Manusia banyak yang tewas,Kerbau dan Sapi habis,Sirna hilang tak bisa dipulihkan lagi.
Namun lepas dari itu semua, Serat Jangka Jayabaya Sabda Palon tidak lain merupakan sebuah karya sastra. Bait-bait yang termuat di dalamnya bisa menjadi bahan refleksi kesadaran umat seluruhnya di Tanah Jawa.
Baca Juga:Penyebab Rusuh Lapas Tuminting Manado, Narapidana Minta Dibebaskan karena Takut Terinfeksi CoronaNarapidana Rusuh, Lapas Tuminting Terbakar
Dr Purwadi MHum, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) membantu menerjemahkan dan mengolah kisah Sabdo Palon dari berbagai sumber yang ada.
Sabdo Palon dan Naya Genggong adalah dua pujangga kerajaan Majapahit yang menguasai ilmu kanuragan yang bersumber dari kitab pujasastra. Mereka merupakan penasihat utama Prabu Brawijaya yang punya kesaktian mandraguna.
Kesaktian Sabdo Palon dan Naya Genggong berkat ilmu laku dan jangka jangkah jangkane zaman. Tiap malam sesepuh kerajaan Majapahit ini selalu cegah dhahar lawan guling (berpuasa dan tak tidur). Pada bulan Suro bersama dengan cantrik-cantriknya menjalankan tapa brata di puncak Gunung Lawu.
“Menjelang bulan Ruwah mereka juga melakukan laku tapa kungkum di Kali Ketonggo. Begitulah ritual Kejawen yang dilakukan oleh Sabdo Palon dan Noyo Genggong, dua sosok kepercayaan Sinuwun Prabu Brawijaya ini sungguh berbakti kepada kerajaan Majapahit,” tukas Purwadi.
Tradisi kepujanggaan kerajaan Kediri yang beribukota di Dahono Puro ini berlanjut. Sabdo Palon dan Noyo Genggong masih cucu Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Pujangga kenamaan ini menjadi guru spiritual Sinuwun Prabu Jayabaya. Tak mengherankan bila Sabdo Palon dan Noyo Genggong pasti menggelar ruwatan di daerah Mamenang Kediri untuk menjaga ketentraman masyarakat dari letusan Gunung kelud.
“Masyarakat Jawa percaya bahwa gunung Kelud dijaga oleh Dewi Kilisuci, putri raja Airlangga yang berwujud Kedhi atau wandu. Sabdo Palon dan Noyo Genggong menghormati Dewi Kilisuci sebagai pepundhen pidha pusaka,” imbuh Purwadi.