Resmi menjadi wartawan perang, Sosrokartono disusupkan ke dalam pasukan Sekutu agar lebih leluasa bergerak. Ia diberi pangkat mayor. Akan tetapi, Sosrokartono tidak mau membawa senjata. “Saya tidak akan menyerang orang, karena itu saya pun tak akan diserang. Jadi, apa perlunya membawa senjata?” kilahnya.
Sosrokartono terbilang sukses menjalankan pekerjaannya. Salah satu hasil liputannya adalah perundingan antara Jerman dengan Perancis. Pertemuan ini dilakukan rahasia di dalam gerbong kereta yang ditempatkan di hutan pedalaman Perancis dan dijaga sangat ketat.
Mohammad Hatta dalam Memoir (1979) meyakini, gaji Sosrokartono sebagai jurnalis The New York Herald Tribunesangat besar untuk ukuran zaman itu, yakni 1.250 dolar AS per bulan (setara 31.093 dolar AS saat ini). Hatta menyebut, pangeran Jawa berparas menarik itu hidup dengan pergaulan mewah di Wina, Austria.
Baca Juga:Mantan Jubir Gus Dur: Nadiem Cs Sukses Dulang Keuntungan, Tapi Gagal Raih Nilai-nilai KemanusiaanTeori Bandit, Kekuasaan, dan Demokrasi di Masa Pandemi
Setelah perang berakhir, Sosrokartono dipercaya menjadi juru bahasa Blok Sekutu pada 1918. Setahun berselang, ia diminta Volken Bond atau Liga Bangsa-Bangsa (cikal-bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB) untuk menjadi kepala juru bahasa.
Sosrokartono saat itu sudah menguasai lebih dari 35 bahasa, baik bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa besar di dunia, maupun bahasa dari bangsa-bangsa yang relatif kurang familiar, termasuk beberapa bahasa daerah.
Pada 1921, ia sempat menjadi pejabat tinggi Kedutaan Besar Perancis untuk Belanda di Den Haag, yakni sebagai atase kebudayaan. Empat tahun kemudian, Sosrokartono memutuskan pulang ke Indonesia.
Namun, kehidupan Sosrokartono di negerinya sendiri justru bertolak belakang dengan saat hidup di Eropa. Banyak petinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membencinya, atau mewaspadainya, karena jelas, pria ini bukan orang sembarangan.
Beberapa kali Sosrokartono ditawari pekerjaan di pemerintahan, namun selalu ditolaknya. Sosrokartono ingin bekerja untuk memajukan rakyat tanpa harus meminta belas kasihan pejabat kolonial.
Penolakan demi penolakan tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda heran dan curiga. Sebagai tindakan antisipasi, Sosrokartono dituduh sebagai komunis agar geraknya terbatas. Akibatnya, Sosrokartono kian sulit memperoleh pekerjaan.
“Itu merupakan bentuk fitnah yang sangat keji yang saya rasakan, namun tidak berdaya terhadapnya,” tulis Sosrokartono dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon.