JAKARTA-Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengungkapkan salah satu kendala dalam menerbitkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA). Salah satunya adalah BPOM masih menunggu data uji klinis fase III vaksin COVID-19 dari Sinovac yang dikembangkan di Bandung, Jawa Barat untuk interim tiga bulan. Namun, kata Penny, data tersebut akan diberikan pihak Bio Farma kepada BPOM pada hari ini.
“Kita masih menunggu data hasil uji klinik fase III yang ada di Bandung untuk pengamatan interim tiga bulan yang akan diberikan pada hari ini. Jadi hari ini akan kami terima dan secepatnya akan kami bahas bersama, mudah-mudahan akan segera final dan akan bisa segera diumumkan UEA,” kata Penny dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Badan POM RI, Jumat (8/1/2021).
https://www.youtube.com/watch?v=ig3lp64oJVY
Penny menegaskan, pemberian UEA harus berdasarkan pada bukti keamanan, khasiat dan mutu vaksin. Nantinya, terbitnya UEA terhadap vaksin COVID-19, BPOM masih akan memantau keamanan vaksin secara ketat dalam jangka waktu yang panjang.
Baca Juga:Halal dan Suci, Fatwa MUI Belum Final Tunggu Keputusan BPOMKomnas HAM Temukan Bukti Surat Penugasan dari Polda Metro Jaya Intai Habib Rizieq Shihab
Untuk itu, kata Penny, BPOM akan menggunakan beberapa pedoman dalam penerbitan UEA yang mengacu pada Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan European Medical Agency. Adapun hingga sejauh ini BPOM juga akan memadukan data uji klinis vaksin COVID-19 buatan Sinovac yang dikembangkan di negara Turki dan Brazil.
“Brazil dan Turki sudah memberikan data efikasi, kita gunakan juga, kami berkomunikasi soal EUA bersama-sama. Turki sudah lengkap, Brazil masih kami tunggu,” kata Penny.
Penny memaparkan, hasil uji klinik di Brazil telah memaparkan data uji mencapai 78 persen. Sementara di negara penguji lainnya, yaitu Turki, mencapai 91 persen. Penny mengatakan, perbedaan ini terjadi karena faktor jumlah subjek. Ia juga menegaskan bahwa nilai tersebut sudah di atas standar WHO yakni di atas 50 persen.
“Namun yang terpenting, walaupun ada perbedaan nilai efikasi, regulasi persyaratan dari WHO adalah lebih besar dari 50 persen efikasi telah terpenuhi,” pungkasnya. (*)