Sebagai wartawan Muslim, bisa dikatakan dirinya merasakan langsung dampak dari Islamofobia yang berkembang di AS. “Itulah mengapa perlu lebih banyak lagi umat Muslim yang berprofesi sebagai jurnalis di AS,” harap wartawan Wall Street Journal dan Cable News Network CNN itu.
Rummana Hussain, jurnalis perempuan Muslim lainnya bercerita, bagaimana orangtuanya sempat pesimis akan masa depannya. “Bagaimana saya bisa mendapatkan pekerjaan karena nama dan fisik yang bisa dibilang asing bagi masyarakat AS,” katanya, di acara yang sama.
Pada akhirnya, perempuan keturunan India itu, memutuskan menjadi wartawan. Dia mengaku senang berbicara atau bertemu dengan orang lain. Hussain juga senang melihat atau mendengar hal-hal penting yang terjadi setiap hari. “Makanya, meskipun saat ini sebenarnya saya adalah editor, tapi saya masih terus menulis. Khususnya yang berhubungan dengan Muslim,” terang Hussain.
Baca Juga:Gara-gara Isi Ceramah, Imam Masjid Ini Dibacok Saat Beli BaksoPengacara Korban Ungkap Kasus Dugaan Pencabulan di Ponpes Indramayu
Menurutnya, saat ini sebenarnya masih perlu lebih banyak lagi Muslim yang menjadi wartawan di AS. “Karena seperti yang kita lihat bersama, Islamofobia berkembang begitu cepat,” ujar wartawan Chicago Sun Times itu.
Sedangkan Nia Iman Santoso, wartawan Voice of America (VoA) menyebutkan sejumlah tantangan yang harus dihadapinya sebagai jurnalis perempuan Muslim di AS, karena ia menyampaikan informasi pada masyarakat Indonesia.
Dia menilai, mencari topik yang dibahas jadi tantangan tersendiri. Nia juga harus mencari sumber yang benar-benar berkompeten untuk dimintai informasinya.
Namun, semuanya itu perlahan bisa diatasi. Sepanjang 15 tahun kariernya sebagai wartawan di AS, Nia membangun jaringan mulai dari wong cilik hingga elite. Dia juga terbantu dengan adanya media sosial. “Sehingga saya juga bisa menambahkan informasi pada topik yang saya sampaikan,” terang Nia.
Kata dia, ada beberapa macam topik yang biasanya menarik bagi para audiens Indonesia. Pertama adalah mengenai pertumbuhan Muslim di AS. Bicara pertumbuhan, lanjutnya, sebenarnya tidak hanya bicara soal pertambahan jumlah. Tapi adalah bagaimana cara Islam menjadi bagian kehidupan orang di AS.
Tantangan berikutnya, lanjut dia, adalah bagaimana dia bisa bercerita tentang kehidupan Muslim di AS. Baginya, wawancara bukan sekadar soal mendapatkan berita. Tapi juga soal seseorang yang mau bercerita. “Saya bisa mendapatkan cerita dari imigran-imigran Muslim yang datang ke AS,” terangnya. (*)