KABAR baik atau buruk? Dari laman Mirror dengan artikel berjudul Man with dementia remarries wife he forgot after falling in love with her again dikutip beritaradar.com, para peneliti Michigan State University mengeluarkan hasil studi baru yang menyatakan bahwa orang yang menikah lebih berisiko mengalami demensia dibandingkan yang lajang.
“Penelitian ini penting karena harapan hidup orang lebih lama dan perkawinan menjadi lebih kompleks,” kata Profesor Hui Liu pemimpin penelitian.
Dengan menjadi lebih kompleks inilah, status perkawinan dan permasalahan di dalamnya menjadi berkaitan dengan risiko demensia.
Baca JugaAksi Solidaritas George Floyd Diwarnai Bakar Kantor PolisiJadi Perhatian Internasional, Markas FPI Disambangi Perwakilan Kedubes Jerman
Dalam studi ini, para peneliti menganalisis data lebih dari 15.000 orang dari lima kelompok yang sudah menikah, bercerai atau berpisah, menjanda, tidak pernah menikah dan hidup bersama.
Penelitian ini berlangsung selama 14 tahun, dan data yang dikumpulkan juga termasuk informasi tentang fungsi kognitif peserta, kondisi kronis dan perilaku.
Baca JugaJokowi Bakal Bubarkan 13 Lembaga di Akhir Agustus 2020Menantu Elvy Sebelumnya Juga Pernah Ditangkap karena Narkoba, Polisi Temukan 1,07 Gram Sabu
Dan hasilnya menunjukkan bahwa orang yang menikah dan orang yang bercerai paling berisiko alami demensia, seiring bertambahnya usia, terutama pada laki-laki.
Menggali lebih dalam, para peneliti juga menemukan risiko demensia juga dipengaruhi oleh kondisi kronis kesehatan dan perilaku seseorang.
Masalahnya, hubungan penyakit ini dengan pernikahan dan perceraian sebenarnya belum jelas.
Baca JugaKabar Baik, Tarif Listrik Turun Bagi 7 Golongan iniIngin Donasi Buat Penanganan Corona? Akan Ada Rekening Khusus
Jadi, peneliti dan dokter masih perlu mengidentifikasi hal ini lebih dalam terkait hubungan status perkawinan dan risiko demensia.
“Temuan ini akan membantu bagi para pembuat kebijakan dan praktisi kesehatan yang berupaya mengidentifikasi populasi rentan dengan lebih baik dan merancang strategi intervensi yang efektif untuk mengurangi risiko demensia.” Tutup profesor Hui. (*)