Veronica Koman dan TAPOL Inggris Terbitkan Laporan Pemberontakan Papua Barat 2019

Veronica Koman dan TAPOL Inggris Terbitkan Laporan Pemberontakan Papua Barat 2019
Kendaraan yang terbakar membentang di tempat parkir di Wamena, Provinsi Papua, pada Selasa, 24 September 2019. (Foto: AP)
0 Komentar

Laporan itu juga membahas mengenai pembatasan kebebasan media dan upaya untuk mengisolasi Papua Barat dari dunia luar.

“Ada 13 kasus serangan terhadap kebebasan pers selama Pemberontakan, termasuk empat kasus internasional. Pemerintah Indonesia juga memberlakukan tindakan keras besar-besaran di media sosial, memblokir lebih dari 1.750 akun hingga 29 Agustus 2019.”

“Banyak aktivis Papua Barat mengeluh akun media sosial mereka ditangguhkan selama periode ini.”

Baca Juga:DPR Sepakat RUU Cipta Kerja Dibawa ke Paripurna, Begini 16 Poin Pernyataan Menko AirlanggaKabar Baik, Tarif Listrik Turun Bagi 7 Golongan ini

Indonesia juga memberlakukan “pembatasan” internet dan penutupan di Papua Barat “sejak hari pertama Pemberontakan”, atas nama “keamanan nasional”, menurut laporan itu. Ini disertai dengan kampanye media sosial untuk “doxx” (mempublikasikan detail pribadi tentang) aktivis hak asasi manusia dan jurnalis, dan memberi label laporan media sebagai palsu.

“Wartawan terkenal Papua Barat, Victor Mambor, di-doxx pada 22 Agustus, termasuk lokasi persis rumahnya di peta di Twitter. Serangan online itu juga berisi fitnah, yang mengaitkannya dengan organisasi kemerdekaan OPM (Organisasi Papua Merdeka).”

Laporan Reuters tentang penembakan di Deiyai ​​pada 28 Agustus yang mengakibatkan korban sipil, dicap sebagai hoaks oleh akun Twitter resmi militer Indonesia.

Koresponden asing ABC Indonesia Anne Barker dan juru kamera Phil Hemingway tiba di Papua Barat untuk meliput Pemberontakan pada 3 September.

Menurut laporan tersebut, “Mereka hanya diperbolehkan berada di kota Sorong dan diikuti oleh petugas intelijen selama berada di sana.”

Tim tersebut diperintahkan kembali ke Jakarta dua hari lebih awal dari yang direncanakan oleh pejabat Indonesia.

“Ketika mereka tiba di Jakarta, polisi mengirim sms mereka lagi untuk memastikan apakah mereka benar-benar telah kembali, dan meminta mereka untuk pergi ke markas polisi. Mereka menolak untuk pergi.”

Baca Juga:Dua Kali Swab Hasil Negatif, Bupati Bangka Tengah Meninggal Gara-gara Covid-19Usai Dikerik Tukang Pijit, Sopir Bus AKAP Meninggal Dunia Mendadak di Tempat Kos

Laporan tersebut merupakan bacaan penting untuk memahami peristiwa tahun lalu, tulis greenleft.org. Bab terakhirnya menganalisis “bom waktu” yang diciptakan oleh pendudukan dan nasionalisme Indonesia, serta gerakan Papuan Lives Matter, yang telah “memicu diskusi di antara orang Indonesia tentang Papua Barat dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya”.

“Banyak orang yang telah mengetahui masalah di Papua Barat, dan secara aktif belajar dan mendiskusikannya. Hal ini diharapkan dapat diartikan bahwa pemerintah Indonesia tidak dapat lagi melakukan apa pun yang diinginkannya tanpa memperhitungkan akibatnya, karena semakin banyak rakyatnya sendiri yang akan mempertanyakan penguasa.”

0 Komentar