JAKARTA-Unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat sipil di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (30/9), berujung ricuh. Bentrok diawali dengan penembakan gas air mata tanpa peringatan terlebih dahulu.
Demikian disampaikan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Indonesia (Hiampolindo) Febri Rahmat kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (1/10). Febri bersama ribuah mahasiswa ikut dalam aksi tersebut.
Dijelaskannya, aksi tersebut dimulai pada pukul 13.00 WIB dan berjalan dengan damai. Namun pada pukul 18.00 WIB, massa aksi tetap berdiri tegak dengan berorasi di depan gedung DPR, hingga terjadilah bentrok dengan aparat kepolisian yang sedang bertugas.
Baca Juga:Menebak Calon Ketua DPR, Dari Puan Maharani Hingga Rachmat GobelJadwal Pelantikan Anggota DPR Periode 2019-2024
“Bentrok diawali dengan penembakan gas air mata tanpa peringatan terlebih dahulu. Ini membuat sejumlah massa aksi dipukul mundur dan aparat tetap menembakan gas air mata bertubi-tubi hingga kerusuhanpun melebar,” ujar Febri.
Kemudian, lanjut dia, aparat melakukan sweeping ke daerah sekitaran lokasi aksi, dan dalam proses penangkapan, aparat tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam menghadapi masa aksi.
“Hingga pukul 01.00 WIB banyak masa aksi yang mengalami luka-luka dan banyak pula yang dikabarkan hilang,” terang Febri.
Dengan demikian, Himapolindo meminta kebijaksanaan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk dapat segera menginstruksikan setiap jajaran kepolisian tidak melakukan tindakan represif terhadap massa aksi dan menjunjung tinggi hak kebebasan berpendapat.
Selanjutnya, hentikan penangkapan terhadap aktivis, mahasiswa dan masyarakat sipil, lalu bebaskan pengunjuk rasa yang telah ditangkap.
Aksi di depan Gedung DPR termasuk di sejumlah daerah menuntut beberapa hal. Pertama, menolak RUU kontroversial diantaranya RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Minerba, RUU Ketenagakerjaan dan pencabutan UU KPK.
Kedua, usut tuntas pelaku pembakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan dan pidanakan korporasi pembakaran hutan serta cabut izinnya. Ketiga, tuntaskan masalah pelanggaran HAM ringan dan berat. Keempat, hentikan kriminalisasi aktivis. (*)