PADA 19 Oktober 1987, dua rangkaian kereta api bertabrakan di Bintaro, Tangerang —sekarang masuk Provinsi Banten. Lokomotif dan gerbong pertama masing-masing kereta hancur-lebur. Ratusan penumpang tewas mengenaskan. Suara tabrakan terdengar hingga beberapa belas meter. Kecelakaan kereta terburuk sepanjang sejarah Indonesia.
Kecelakaan ini terjadi Senin pagi, sekira jam tujuh. Waktu padat penumpang untuk Kereta api (KA) 225 trayek Rangkasbitung—Jakarta Kota. Kereta ini mengangkut 1.887 penumpang. “Penumpang KA 225 itu sudah melebihi kepadatan maksimal (200 persen dari kapasitas padat),” catat redaksi Suara Pembaruan dalam Rekaman Peristiwa ’87. Para penumpang KA 225 memenuhi lokomotif dan atap gerbong.
Situasi berbeda tampak dalam KA 220 jurusan Tanah Abang—Merak. Kereta ini terisi oleh 478 penumpang. Kapasitas angkutnya 685 penumpang. Kepadatannya menyentuh angka 72.6 persen. Masih dalam batas normal. Semua penumpang kebagian tempat duduk.
Baca Juga:Amnesty Internasional Menilai Pengamanan Pelantikan Jokowi BerlebihanPengamat Intelijen: Kerawanan Bukan Kelompok JAD atau ISIS Justru Kelompok yang Tidak Terdeteksi
Pada pukul 06.46, Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Kebayoran mengabarkan bahwa KA 220 dengan masinis Amung Sonarya berangkat dari Stasiun Kebayoran (arah timur) menuju Stasiun Sudimara (arah barat). Kabar ini mengejutkan PPKA Stasiun Sudimara.
Ada tiga sepur (lajur kereta) di Stasiun Sudimara. Semuanya terisi. Salah satunya oleh KA 225. “Dalam keadaan seperti itu di stasiun Sudimara tidak mungkin dilakukan persilangan dengan KA 220 yang akan datang dari stasiun Kebayoran seperti lazimnya berlaku sesuai jadwal,” ungkap Panji Masyarakat, 11—20 November 1987. PPKA Sudimara meminta persilangan kereta dilakukan di Stasiun Kebayoran.
PPKA Sudimara mengatakan rencana itu sudah disepakati oleh PPKA Kebayoran sebelum KA 220 berangkat dari Kebayoran. Tapi rupanya terjadi pergantian PPKA di Stasiun Kebayoran, sedangkan di Stasiun Sudimara tetap. PPKA Kebayoran baru inilah yang tidak mengetahui rencana sebelumnya.
“Kontak memang sempat dilakukan lagi, tapi apa yang disampaikan masing-masing pihak tidak jelas. Petugas baru di Stasiun Kebayoran agaknya tidak memahami percakapan penting sebelumnya antara pihak Sudimara dengan Kebayoran,” tulis Panji Masyarakat.
Mendengar kabar dari PPKA Kebayoran bahwa KA 220 telah berangkat menuju barat, PPKA Sudimara berupaya mengosongkan salah satu sepur di Stasiun Sudimara untuk KA 220. “Usahanya dengan cara memindahkan rangkaian KA 225 yang berada di spur tiga ke sepur satu, walaupun di sepur satu sudah ada rangkaian tujuh gerbong pula,” catat redaksi Suara Pembaruan. Upaya darurat ini sesuai aturan, sebab dua rangkaian kereta di sepur satu masih berada dalam satu zona ke arah timur.