Tak hanya media-media tersebut, tahun ini, The Guardian’s Australia menerbitkan artikel pertama bertema politik yang dalam pengerjaannya dibantu dengan mesin. Sementara Forbes baru-baru ini mengumumkan, reporter robot bernama Bertie yang diklaim menjadi teman reporter manusia dalam menyediakan draf kasar dan template cerita.
Dosen Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Haryanto mengungkapkan, jurnalisme robot tak bisa dipandang sebelah mata. Meski sekarang teknologinya baru sampai pada produksi berita yang sederhana dan minim analisis, tapi tak menutup kemungkinan kecerdasan buatan akan kian berkembang.
“Kerja wartawan saat ini tak bisa sepenuhnya digantikan oleh robot. Sebab, yang bisa robot lakukan hanya membuat berita yang bisa diukur, misal pertandingan olahraga dan pergerakan bursa saham. Di luar itu, tetap dibutuhkan kerja intelektual dan penyelidikan yang belum bisa dilakukan robot,” ujarnya pada saya, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:Modus Penyelundupan Onderdail Harley Davidson-Brompton di Garuda Indonesia, Ini Kata KPKEks Panitera Rohadi Ajukan PK, Pengamat Hukum Pidana Korupsi: Bukti dan Fakta Terungkap Seharusnya Dikabulkan MA
Kerja-kerja seperti menulis feature yang baik, wawancara ketat, atau investigasi hanya bisa dilakukan manusia. Kecuali, imbuhnya, jika kecerdasan buatan memang bisa secanggih itu bertahun-tahun ke depan.
Masalahnya, di media luar negeri sendiri, reporter robot terus dikembangkan agar mampu mengambil tugas manusia, termasuk melakukan transkripsi wawancara dan identifikasi gambar. Ini mirip seperti yang dilakukan Wall Street Journal dan Dow Jones. Di NYTimes, meski tidak menggunakan robot untuk menulis berita, tapi media ini menggunakan kecerdasan buatan demi mempersonalisasi buletin, moderasi komentar, digitalisasi arsip, dan mengidentifikasi gambar.
Meski NYTimes masih idealis, tapi melihat tren media kini, ketika mereka lebih banyak mengejar produksi berita standar, tapi urung memberi konteks dan analisis, maka eksistensi reporter manusia mendapat tantangan tersendiri.
“Buat apa mempekerjakan reporter manusia yang hanya bisa memproduksi berita-berita biasa, banyak salah ketik, sepenggal dua penggal paragraf dan miskin analisis, jika itu semua bisa diambil alih mesin,” ujarnya lagi.
Oleh karena itu, reporter manusia dituntut untuk berbenah agar bisa memiliki kualitas lebih. “Bukankah ini alarm yang nyata bagi reporter manusia yang menulis sekadar menulis asal, agar bisa lebih baik lagi dalam melakukan reportase dan kerja-kerja jurnalistik lainnya?” kritiknya.