JAKARTA-Proses Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara Rohadi seharusnya disetujui oleh Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Jakarta Pusat dan juga Mahkamah Agung. Alasannya, karena bukti-bukti yang diajukan terpidana yang terjerat kasus pedangdut Saiful Jamil tersebut sangat kuat, banyak dan meyakinkan.
“Saya mengikuti kasus dengan baik. Sepertinya tidak ada alasan bagi Majelis Hakim PK untuk tidak menerima PK-nya Rohadi. Pertama karena bukti-bukti sebanyak 33 alat bukti sudah clear, sekaligus bahan hukum yurisprudensi dari kontruksi kasus yang sama yakni putusan Tarmizi dan itu sudah jelas hampir kita mungkin kita beranjak dari logika hukum jika ditolak sementara PK Tarmizi sudah diterima,” kata Pengamat Hukum Pidana Korupsi, Mohammad Saleh Gawi dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Kamis (8/12).Lebih lanjut dia menilai, jika ada penolakan dalam PK Rohadi berarti ada sesuatu pada instutusi mulia yang seharusnya bisa memberikan keadilan bagi masyarakat.
“Kalau menolak ada sesuatu dan dia harus berkorban atas kehancuran institusi keadilan tingkat akhir itu, karena Tarmizi sudah diterima untuk kasus yang sama. Perkara dengan konstruksi yang sama. Kalau mereka tidak terima kan, makin hancur, karena semua sudah tahu dan sudah tersiar secara nasional,” ungkapnya.
Baca Juga:Pilihan Tepat, Tunjuk Listyo Jadi KabareskrimSubuh Sikh
Berdasarkan bukti dan fakta yang terungkap, Saleh optimis PK Rohadi akan dikabulkan Mahkamah Agung melalui Majelis Hakim PK yang akan dibentuknya.
“Untuk sementara hampir semua orang termasuk ahli, bahkan hakim-hakim MA itu sendiri yang dikomunikasikan secara langsung. Mereka mengatakan bahwa peluang proses PK Rohadi diterima MA 99 persen diterima karena bukti-bukti kuat yang diajukannya,” kata Saleh.
Sementara itu, dalam konstruksi kasus Rohadi itu sendiri, Saleh mengatakan tidak seharusnya terpidana itu dijerat dengan Pasal 12 huruf a karena bukan merupakan otak pelaku utama terjadinya skandal suap kasus Saiful Jamil.
“Jadi begini logikanya, setiap kasus pidana yang melibatkan banyak orang pasti ada otaknya. Harus ada otaknya. Nah, oleh karena ada keinginan Hakim Majelis Pengadilan Tipikor pada Majelis PN Jakarta Pusat meloloskan hakim-hakim sebagai otak, sebagai inisiator, sebagai penerima uang suap. Agar tidak dijerat hukum, maka dia harus memunculkan otak pelaku dan akhirnya dibebankan kepada Rohadi,” terang dia.