Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 21 juta jiwa (John Barry) hingga 50-100 juta jiwa (Nial Johnson dan Juergen Mueller), di mana kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20-40 tahun, dan orang berumur 70-74 tahun. Itu berarti, dalam kurun waktu Maret 1918-September 1919, Flu Spanyol merenggut sekitar dua persen populasi dunia yang saat itu berkisar 1,7 miliar orang. Angka tersebut jauh melebihi jumlah korban PD I yang berkisar 9,2 juta-15,9 juta jiwa. Para epidemiologis menyimpulkan, Flu Spanyol merupakan penyakit menular paling mematikan dalam sejarah umat manusia, jauh lebih berbahaya dari cacar, pes, dan kolera.
Di Hindia (kini Indonesia), pandemi itu terbawa masuk besar kemungkinan melalui jalur laut, entah lewat kapal penumpang ataupun kapal kargo. Pemerintah Hindia Belanda mencatat, virus ini pertamakali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura dan menyebar lewat Sumatera Utara. Investigasi polisi laut terhadap kapal penumpang Maetsuycker, Singkarah, dan Van Imhoff mendapati beberapa penumpang positif terjangkit virus tersebut. Virus bahkan menjangkiti seluruh penumpang dan awak kapal Toyen Maru yang baru tiba di Makassar dari dari Probolinggo.
Menariknya, harian Sin Po dan Pewarta Soerabaia memiliki beberapa nama untuk menyebut pandemi itu: “Penjakit Aneh”, “Penjakit Rahasia”, dan “Pilek Spanje”. Dalam salah satu artikelnya, Pewarta Soerabaia bahkan menggunakan istilah “Russische Influenza” meskipun pandemi Flu Rusia sudah berakhir pada 1890. Namun dalam artikel-artikel berikutnya, Sin Po maupun Pewarta Soerabaia menggunakan terminologi yang lazim digunakan di seluruh dunia untuk menyebut penyakit ini: Flu Spanyol.
Baca Juga:Sang Allenatore, Walter Mazzarri Dipecat di Ruang GantiBelum Usai Virus Corona, Cina Kembali Diserang Wabah Flu Burung
Ketika virus itu mulai menyerang kota-kota besar di Jawa pada Juli 1918, pemerintah dan penduduk tidak memperhatikan. Mereka tidak sadar virus tersebut akan menjalar dengan cepat dan mengamuk dengan sangat ganas. Terlebih, saat itu perhatian pemerintah lebih terfokus pada penanganan penyakit-penyakit menular lain seperti kolera, pes, dan cacar.
Beberapa suratkabar juga menganggap Flu Spanyol belum berbahaya. Aneta, misalnya, dari korespondensinya dengan Asosiasi Dokter Batavia menyimpulkan bahwa Flu Spanyol tidaklah berbahaya bila dibandingkan dengan flu pada umumnya. Sementara, Sin Po menulis, “Ini penjakit lagi sedang hebatnja mengamoek di seantero negeri, sekalipoen tiada begitoe berbahaja seperti kolera atau pes.”