Pewarta Soerabaia mencatat, hingga pertengahan Juli 1918, Flu Spanyol telah menjangkiti 70 polisi di Jawa dan membunuh 10 orang Tionghoa di Medan. Beberapa perusahaan di Surabaya bahkan harus mengurangi produksi karena lebih dari setengah karyawannya tidak dapat masuk kerja karena terkena Flu Spanyol. Sin Po bahkan mengabarkan kemungkinan keterlambatan tiba korannya agar masyarakat memaklumi. Sementara itu, sebuah perusahaan di Ambon harus menerima kenyataan hanya sembilan pekerjanya (dari total 800 pekerja) yang bisa masuk kerja.
Seluruh rumahsakit mendadak kebanjiran pasien sampai harus menolak banyak pasien karena keterbatasan kamar. Para dokter tidak mampu berbuat banyak lantaran mayoritas dari mereka belum pernah melihat gejala penyakit seperti itu. Mereka hanya bisa merekomendasikan kina dan aspirin untuk menurunkan panas sang pasien.
Menurut Koloniaal Weekblad (1919), masing-masing dokter di Makassar harus bertanggungjawab terhadap nasib 800 pasien. Saking frustasinya, dalam sebuah rapat regional di Rembang, Dr. Deggeler sampai menyatakan bahwa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu, selain amal baik seseorang.
Baca Juga:Sang Allenatore, Walter Mazzarri Dipecat di Ruang GantiBelum Usai Virus Corona, Cina Kembali Diserang Wabah Flu Burung
Beberapa dokter justru memanfaatkan momentum pandemi itu untuk menaikkan tarif pengobatan. Dr. Hoefer dan Dr. Rademaker di Surabaya, misalnya, secara sepihak menaikkan tarif dari f.1,5 menjadi f.3. Mereka berdalih tindakan tersebut diambil supaya tidak harus melayani banyak pasien. Pewarta Soerabaia menganggap dokter tipe tersebut hanya mengambil keuntungan dari orang sakit. Mereka dianggap melanggar sumpah dokter karena tidak memprioritaskan pasien yang membutuhkan dan hanya berpikir memperkaya diri.
Akibatnya, berkembang stereotip dokter Eropa cenderung memprioritaskan pasien dari golongan berada sehingga pasien kurang mampu takut berobat ke rumahsakit atau memanggil dokter. Umumnya, mereka hanya mengandalkan pengobatan tradisional, yang seringkali juga tidak berakhir manjur.
Dalam rapat Volskraad, Dr. Abdul Rivai menyebutkan bahwa pandemi telah menjangkiti lima persen dari total populasi di Surabaya. Di Pasuruan, mayat-mayat terpaksa dibaringkan di jalan karena banyak penggali kubur terjangkiti virus tersebut. Koloniaal Weekblad (1919) menuliskan, influenza masih mengamuk di berbagai wilayah Kalimantan pada akhir Desember 1918. Menurut laporan Zendeling Borch, banyak penduduk meninggal akibat influenza dan pneumonia, biasanya didahului dengan demam tinggi hingga 41 derajat Celsius.