Kembalinya Dinasti Politik Indonesia?

Kembalinya Dinasti Politik Indonesia?
Keluarga Jokowi. Dari kiri: Kahiyang Ayu, Kaesang Pangarep, Joko Widodo, Iriana Joko Widodo, dan Gibran Rakabuming. (Foto: Wikimedia)
0 Komentar

Mencalonkan diri untuk jabatan pemerintahan di Indonesia merupakan usaha yang berbiaya sangat mahal. Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas memperkirakan bahwa upaya serius untuk mendapatkan kursi di dewan legislatif nasional berbiaya sekitar Rp10 miliar. Meski sumbangan pribadi sangat didorong, namun banyak kandidat akhirnya mengumpulkan sebagian besar dari anggaran itu sendiri.

Dikutip dari Asean Today pada Selasa (1/10), tahun 2016, 11 persen eksekutif daerah yang menjabat memiliki hubungan langsung dengan para pendahulu mereka. Dalam pemilu tahun 2017 dan 2018, setidaknya ada 18 kandidat yang terkait dengan pejabat petahana.

Dalam Pilpres 2019, Sandiaga Uno—cawapres yang mendampingi capres oposisi Prabowo Subianto—dilaporkan menghabiskan lebih dari US$100 juta dari kekayaannya sendiri dalam kampanye mereka.

Politik dinasti di Indonesia. (Foto: ASEAN Today)

Baca Juga:Goo Hara Tak Sendiri, 40% Seleb Korea juga Ingin Bunuh DiriPenyanyi Korea Goo Hara Dikabarkan Tewas di Rumahnya

Biaya kampanye sebesar ini tentu hanya bisa diupayakan oleh keluarga terkaya dari eselon atas politik Indonesia. Para kandidat dapat menerima sumbangan hingga 1 miliar rupiah per tahun dari donor perorangan, dan hingga 7,5 miliar rupiah dari perusahaan. Namun, pengenalan sistem “daftar terbuka” tahun 2009 telah membuat banyak kandidat mengalami kesulitan untuk berkampanye hanya dari sumbangan semata.

Sistem daftar terbuka memungkinkan pemilih untuk memilih para kandidat perorangan daripada partai. Tanpa adanya perbedaan ideologis atau kebijakan yang jelas, para kandidat terpaksa untuk mencari metode alternatif untuk memisahkan diri dari sesama kandidat yang mencalonkan diri untuk memperoleh suara dan sumbangan.

Dalam arena yang penuh sesak dan secara ideologis sempit, popularitas menjadi semakin penting. Selain itu, praktik jual-beli suara—ketika para kandidat membagikan insentif uang tunai kepada para pemilih pada hari pemilu dengan imbalan dukungan mereka di kotak suara—digunakan untuk memaksimalkan suara individu seorang kandidat. Insentif uang dalam jumlah kecil ini dengan cepat bertambah dan dapat menghabiskan biaya kampanye hingga miliaran rupiah.

Dalam satu kasus profil tinggi, KPK menemukan anggota parlemen Partai Golongan Karya (Golkar) Bowo Sidik Pangarso telah menerima sumbangan sebesar 8 miliar rupiah dari seorang manajer perusahaan transportasi. Bowo kemudian membagi uang itu ke dalam banyak amplop untuk dibagikan kepada para pemilih di hari pemungutan suara.

0 Komentar