Kisah Anak Kolong di Tahun Gelap

Kisah Anak Kolong di Tahun Gelap
0 Komentar

Aku tidak terpengaruh. Kegiatanku berjalan seperti biasa. Pagi sampai siang aku sekolah, sore ikut mengaji di langgar (surau) sambil memasang pancing di sungai dekat jembatan. Tetapi sejak pasukan Yonif 407 berangkat tugas ke Sumatera, suasana sekitar asrama memang menjadi tintrim (sepi mencekam).

Ini diperburuk dengan oglangan (giliran mati lampu) yang amat menjengkelkan. Hampir tiap malam aku belajar dengan diterangi lampu senthir atau lampu teplok berbahan bakar minyak tanah. Pagi hari, asap hitam atau langes terkadang masih membekas di hidungku.

Foto di sebuah studio di Purwokerto sesaat sebelum keluarga penulis pindah ke Wonopringgo, akhir 1964, sebuah masa yang sulit dan pahit terutama bagi keluarga tentara. Foto dok: Rusdian Lubis

Baca Juga:Kajian Bappenas Dangkal, Anggota Pansus Pemindahan Ibu Kota: Pak Jokowi Semestinya Tidak Buru-buru Umumkan Lokasi IKNMantan KaBais Minta Pemerintah Lakukan Operasi Intelijen Tangkap Penunggang Gelap

PKI mempunyai ranting atau anak cabang organisasi serta onderbouw-nya seperti Gerwani. Ibu kenal cukup baik dengan seorang aktivis Gerwani yang rajin menyambangi ibu-ibu asrama Yonif 407. Wanita itu manis dan amat grapyak (pandai bergaul dan ramah).

Kantor partai itu adalah   bangunan bercat putih bertingkat dua, terletak di pinggir jalan dan berhadapan dengan warung es. Di halaman kantor ada sebuah papan pengumuman yang ditempeli Koran Harian Rakyat (HR) untuk dibaca mereka yang lewat.  

Aku sering mampir untuk membaca berita dan kartun-kartun HR yang bersemangat. Menjelang 30 September, kubaca berita tentang tuntutan PKI  untuk membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). DN Aidit dalam rapat raksasa CGMI (organisasi mahasiswa PKI) pernah berpidato: “Kalau tidak berhasil membubarkan HMI, maka anggota-anggota CGMI mengganti celana dengan sarung”. 

Pernyataan ini tidak membuat marah kaum sarungan (golongan Islam, terutama NU dan Muhammadiyah) tetapi malah menggembirakan pedagang sarung batik di Pekalongan. Karena pangsa pasar sarung akan terbuka lebar menjangkau warga PKI. Tapi tidak berpengaruh di Nopringgo, sebab warga PKI juga pakai sarung kemana-mana. Di kota kecil ini semua anggota partai atau golongan adalah kaum sarungan! 

Tepat pada 30 September 1965, koran HR memuat pernyataan tokoh PKI Anwar Sanusi, “Ibu Pertiwi hamil tua, dan paraji (dukun beranak) sudah siap untuk kelahiran sang bayi”. 

0 Komentar