Praktisi Hukum: Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Sangat Lemah

Praktisi Hukum: Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Sangat Lemah
Tjandra Widyanta, SH, Praktisi Hukum
0 Komentar

Kekerasan anak terjadi karena negara gagal buat kebijakan perlindungan anak. Bagaimana pendapat Anda?

Kalau dikatakan negara gagal membuat kebijakan perlindungan anak, saya rasa tidak. Negara justru sudah mengeluarkan banyak kebijakan berkaitan dengan perlindungan anak dengan mengeluarkan kurang lebih 22 (dua puluh dua) UU tentang perlindungan anak belum termasuk peraturan menteri lainnya terkait perlindungan anak. Jadi sebenarnya negara dalam hal ini pemerintah sudah cukup mengakomodasi kepentingan anak dengan membuat kebijakan perlindungan anak.

Pasal manakah yang bisa digunakan untuk menjerat seseorang yang telah diduga melakukan kekerasan fisik terhadap anak. Bisa Anda jelaskan?

Baca Juga:Psikolog: Gangguan Mental Karena Pandemi Harus Direspon PemerintahDPR Prihatin Kekerasan Anak Meningkat di Era Pandemi

Pasal yang digunakan untuk menjerat orang yang diduga melakukan kekerasan fisik pada anak yaitu: pasal 76 C juncto Pasal 80 UU No. 35 Th 2014Pasal 76 C UU 35/2014 yang berbunyi: “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”Sementara, sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/peganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU No. 35 Th 2014:(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan data kekerasan yang dialami anak selama pandemi covid-19 melanda Indonesia. Sejauh mana pengamatan Anda sebagai praktisi hukum?

Menurut saya adanya peningkatan kekerasan anak pada masa pandemi covud 19 adanya factor tekanan pikiran sehingga menyebabkan banyak orang stress dan memicu emosi karena bosan berada di rumah dan tidak ada kegiatan, akibat kehilangan pekerjaan. Dengan demikian bisa mendorong orang melakukan tindakan criminal terhadap anak yaitu sekedar melampiaskan rasa frustasinya/kekecewaanya. Untuk proses penegakan hukum sendiri terhadap anak korban kekerasan dirasa masih lamban terkendala adanya kekuatiran untuk keluar rumah pada masa pandemi. Orang tua yang akan mendampingi anak korban kekerasan untuk melapor ke polisi kuatir tertular sehingga banyak yang mengurungkan niatnya melapor. Lalu kendala selanjutnya yaitu alasan klasik dalam proses penegakan hukum memerlukan biaya. Seperti contohnya anak korban kekerasan fisik bila mau melapor diharuskan menyertakan hasil visum dokter dan itu memerlukan biaya yang relative besar. Juga terhadap anak korban kekerasan psikis diharuskan menyertakan hasil penilaian psikolog terlebih bila anak korban mengalami kekerasan psikis berupa perundungan verbal lewat sosial media, dikenakan UU ITE diharuskan melampirkan hasil laboratorium criminal dari mabes polri. Kesemuanya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dengan demikan semakin banyak anak korban kekerasan yang tidak tuntas dalam mencari keadilan akibatnya hukum tumpul kebawah dan hukum belum menjadi panglima.

0 Komentar