Preman di Jawa Kuno

Preman di Jawa Kuno
Polisi dengan seorang bandit atau preman di Surabaya, sekira 1880. Foto: KITLV.
0 Komentar

FENOMENA preman di Indonesia mulai berkembang ketika krisis ekonomi maupun angka pengangguran semakin tinggi. Preman sangat identik dengan dunia kriminal serta kekerasan, sebab kegiatan preman tidak lepas dari pemerasan dan pemaksaan untuk mendapatkan penghasilan.

Preman di Indonesia makin lama makin sukar diberantas karena ekonomi yang semakin memburuk dan kolusi antar preman, serta petugas keamanan setempat dengan mekanisme berbagi setoran. Sering juga terjadi perkelahian antar preman, dengan alasan memperebutkan wilayah garapan yang beberapa di antaranya menyebabkan jatuh korban jiwa.

Mengutip tulisan TM Hari Lelono, Peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, Kompas, 21 September 2005, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV di Cipanas, 1986, dibahas oleh Boechari, sorang epigraf (tulisan kuno) tentang dunia perbanditan melalui data prasasti. Fenomena kekerasan dalam masyarakat Jawa kuno dapat diketahui melalui kajian arkeologi dari sumber-sumber tertulis berupa prasasti, lontar, dan naskah-naskah.

Baca Juga:Simbol Perlawanan, Logo KPK di Gedung Merah Putih Ditutup Kain Hitam1×24 Jam, Pria Bertato Pelaku Penusukan Santri Husnul Khotimah Tertangkap

Adapun penggambaran dalam beberapa panil relief candi terdapat di Candi Mendut di Jawa Tengah serta Candi Surawana dan Rimbi di Jawa Timur. Pemerintah kini sedang disibukkan oleh ulah para preman yang sering mengganggu ketenteraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat harus bekerja keras dan menumpas habis segala bentuk kejahatan.

Namun, usaha itu akan sia-sia jika tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Gambaran ini juga terjadi pada masa pemerintahan kerajaan besar seperti Sriwijaya.

Pada masa Jawa kuno, serangkaian undang-undang dan hukum berupa pemberian sanksi yang keras diberlakukan tidak saja pada pelaku kejahatan, tetapi juga warga yang desanyan sebagai tempat kejadian perkara (TKP).

Sanksi yang diberikan kepada desa-desa tersebut berupa denda dan pajak yang sangat memberatkan. Oleh karena itu, penduduk desa membuat pos-pos keamanan untuk meminimalisir kejahatan. Walaupun upaya itu telah dilakukan, masih sering terjadi karena faktor alam dan lingkungan berupa hutan lebat dan terisolirnya dari pusat pemerintahan.

Naskah-naskah hukum (awig-awig) banyak ditemukan di Bali dan ditulis dalam bahasa Jawa kuno dari masa pasca Majapahit. Naskah yang ditulis dan diterjemahkan oleh para sastrawan tersebut diacu dari institusi kerajaan di India yang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan.

0 Komentar