Timor Leste Merdeka, Masih Miskin?

Timor Leste Merdeka, Masih Miskin?
Petugas kesehatan Timor-Leste—dibantu oleh World Vision Australia—menjalankan kelompok orang tua di komunitas regional, untuk membantu para keluarga mengatasi tingginya angka kekurangan gizi. (Foto: The Guardian/Helen Davidson)
0 Komentar

SETIAP tahun pada tanggal 30 Agustus, Timor-Leste merayakan Popular Consultation Day 1999. Perayaan ini memperingati peristiwa penting sejarah: ketika rakyat Timor-Leste akhirnya diberi kesempatan untuk memilih masa depan mereka, dengan mayoritas yang kuat―78,5 persen pemilih―mendukung kemerdekaan dari Indonesia.

Pemungutan suara itu adalah puncak dari perjuangan keras Timor-Leste untuk kebebasan dan kemerdekaan. Ini mewakili realisasi upaya para pemimpin perlawanan untuk merangkul dan mengintegrasikan berbagai kelompok perlawanan di bawah panji terkemuka yang dikenal sebagai “Unidade Nasional” atau “Persatuan Nasional.”

Tujuan mendasar dari upaya-upaya itu adalah untuk meyakinkan komunitas internasional—dan terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—tentang persatuan yang tangguh dan komitmen yang tak tergoyahkan dari rakyat Timor-Leste untuk penentuan nasib sendiri.

Baca Juga:Imigrasi Deportasi 4 Warga Australia, Ikut Demonstrasi di PapuaKisah KKN di Desa Penari dan Cerita Horor yang Viral di Internet

Timor-Leste mendeklarasikan kemerdekaan sepihak sesaat setelah ditinggalkan oleh Portugal, pada tanggal 28 November 1975. Namun kemerdekaan itu berumur pendek. Indonesia menyerang negara setengah pulau itu pada 8 Desember 1975 dengan dukungan pemerintah AS di bawah Presiden Gerald Ford dan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger.

Falintil—sayap militer partai FRETILIN, yang telah mendorong kemerdekaan—bertempur dalam perang gerilya di hutan melawan invasi tersebut. Seiring waktu, Falintil menjadi sangat lemah karena kelaparan dan penyakit, bersamaan dengan kehadiran pasukan TNI yang brutal, ribuan nyawa terenggut. Penindasan kejam pada populasi menyebabkan perpecahan dan isolasi dari dunia luar.

Setelah beberapa kemunduran besar pada awal tahun 1980-an, termasuk pengkhianatan, ketidaksetiaan, dan upaya kudeta yang gagal dalam Falintil, ada kebutuhan mendesak untuk memikirkan kembali strategi dan mengatur kembali gerakan perlawanan.

Xanana Gusmão adalah sosok pemersatu dan perancang wacana Persatuan Nasional. Dia sebagian besar bertanggung jawab untuk mempertahankan gerakan perlawanan dan membangkitkan optimisme dan harapan untuk kebebasan dan kemerdekaan.

Persatuan Nasional adalah tema yang kuat yang tidak hanya mengilhami kelahiran kembali semangat juang, tetapi juga mengintegrasikan seluruh proses interaksi sosial, budaya, dan psikologis dalam perjuangan kemerdekaan. Semangat itu telah memunculkan berbagai gerakan abadi di Timor-Leste, dan gerakan solidaritas internasional untuk mendukung kampanye kemerdekaan.

Kaum muda memainkan peran aktif dalam semua lini: upaya kemerdekaan secara diam-diam, perang gerilya, dan diplomasi. Titik balik dalam sejarah yang menarik perhatian dunia untuk memperjuangkan kemerdekaan adalah Pembantaian Santa Cruz pada 12 November 1991, ketika ratusan kaum muda menghilang atau terbunuh atau disiksa. Ini dianggap sebagai salah satu hari paling berdarah dalam sejarah Timor-Leste.

0 Komentar