Lokasinya dianggap cocok sebagai titik fokus penelitian perang kimia AS karena letaknya terpencil, tetapi dekat dengan Washington. Pengamanannya pun sangat ketat, tetapi fungsi tempat ini akhirnya terungkap ke publik pada Januari 1946.
Dalam laporan yang dirilis 28 September 1994 oleh Badan Akuntansi Umum AS, diketahui ratusan ribu manusia dijadikan kelinci percobaan menggunakan substansi berbahaya pada 1940-1974 di Kamp Detrick.
Pada 1969, AS resmi mengikuti Protokol Jenewa yang melarang penggunaan senjata kimia dan biologis. Meski begitu, Fort Detrick tetap digunakan untuk penelitian patigen berbahaya, termasuk virus Ebola.
Baca Juga:Kematian Du Wei di Tengah Ketegangan AS-China, Benarkah Adanya Konspirasi?Penyebab Kematian Dubes China untuk Israel di Tel Aviv Masih Misteri
Menurut Lembaga Penelitian Medis Angkatan Darat untuk Penyakit Menular yang berbasis di Fort Detrick, misi utama mereka kini adalah melindungi para pejuang dari ancaman biologis. Namun, para ilmuwannya juga menyelidiki wabah penyakit yang menjangkiti warga sipil dan ancaman kesehatan masyarakat lainnya. Laboratorium ini pun terlibat dalam pengujian vaksin Ebola usai epidemi ini merebak di Afrika.
AS pernah digegerkan dengan beredarnya surat yang mengandung spora antraks yang dimulai pada 18 September 2001, seminggu usai serangan teroris 9 September. Lima orang tewas dan 17 lainnya terinfeksi akibat kejadian ini.
Antraks berjenis Ames yang pertama kali diteliti di Fort Detrick ini kemudian didistribusikan ke 16 laboratorium di AS dan 3 laboratorium di Kanada, Swedia, dan Inggris. Awalnya, kecurigaan FBI mengarah pada ahli Senjata Biologis Steven Hatfill, tetapi ia akhirnya dibebaskan.
Pada tahun 2005, penyelidikan difokuskan pada Edward Ivins, seorang ilmuwan di laboratorium Fort Detrick. Namun, Ivins bunuh diri pada Juli 2008 dengan overdosis asetaminofen.
Sejak insiden ‘surat antraks’, aturan pendataan patogen di laboratorium diperketat. Fort Detrick pun sempat ditutup sementara waktu pada 2009 akibat ada patogen dan racun dalam penyimpanan yang tidak terdaftar dalam basis data. Akibatnya, laboratorium ini ditutup agar melengkapi dulu daftar inventaris bakteri, virus, dan racun berbahaya yang disimpan di fasilitas tersebut.
Laboratorium ini mempelajari material menular yang mematikan seperti Ebola dan cacar, dan tiba-tiba ditutup pada Agustus 2019.
Menurut laporan sejumlah media, keputusan itu dibuat karena masalah keamanan setelah Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendapati organisasi tersebut gagal menerapkan sistem yang cukup mampu mendekontaminasi air limbah dan tidak memiliki “pelatihan sertifikasi ulang berkala untuk pekerja di laboratorium biokontainment.”