Sultan Hamid II Bukan Pengkhianat Bangsa

Sultan Hamid II Bukan Pengkhianat Bangsa
Konferensi KTN di Kaliurang, dari kiri Sultan Hamid II (Pontianak), Sri Sultan Hamengku Buwono IX serta KGPAA Paku Alam VIII foto/http://siks.bpadjogja.info
0 Komentar

Maka, kedaulatan pun penuh kita dapatkan. Selanjutnya, terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS) dalam bentuk Federal dengan waktu yang singkat (1949-1950). Agustus 1950, dengan adanya Mosi Integral Natsir, terjadi integrasi bangsa, Indonesia menjadi Negara Kesatuan. Kita harus berfikir jernih dan komprehensif. Bahwa RIS dan NKRI itu adalah satu mata rantai yang sama dalam perjalanan bangsa ini. Toh, Presiden RIS adalah Sukarno, Presiden NKRI kala itupun Sukarno. Bagaimana kita bisa menafikan sejarah ini, hanya karena ada pertarungan kaum federalis dan unitaris? Sedangkan kedua-duanya adalah Indonesia? Kami hanya minta, kita semua membaca secara utuh sejarah bangsa ini dengan sempurna. Tidak lebih.

Hendropriyono selanjutnya menyinggung soal definisi pahlawan nasional di Negara kita. Kami sebelum mengajukan pengusulan calon pahlawan nasional atas nama Sultan Hamid II, sudah mempertimbangkan secara matang tindakan kami ini. Kami sudah membaca secara utuh Undang-undang Kepahlawanan. Kita ketahui bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Definisi pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau Yang Semasa Hidupnya Melakukan Tindakan Kepahlawanan Atau Menghasilkan Prestasi Dan Karya Yang Luar Biasa Bagi Pembangunan Dan Kemajuan Bangsa Dan Negara Republik Indonesia.

Kita perhatikan baik-baik frasa “Yang Semasa Hidupnya Melakukan Tindakan Kepahlawanan Atau Menghasilkan Prestasi Dan Karya Yang Luar Biasa Bagi Pembangunan Dan Kemajuan Bangsa Dan Negara”. Selain sebagai seorang pejuang, di sisi lain bukankah Sultan Hamid II adalah seorang anak bangsa yang sudah menorehkan tinta emas dalam merancang lambang negara kita Garuda Pancasila? Itu adalah karya luar biasa yang sampai hari ini dipakai, digunakan, dilegalisasi sebagai simbol negara tertinggi di negara ini! Kalau memang pengkhianat bangsa, mengapa kita masih menggunakan karya si pengkhianat ini? Definisi seorang pahlawan begitu sempit dan subyektif ketika kita dihadapkan realitas politik. Suka atau tidak suka. Kemudian, siapa yang mempolitisasi semua ini? Pemenang pertarungan politik para politisi kala itu? Bagi sebagian orang Sultan Hamid II bukan pahlawan, seperti apa yang disampaikan oleh Hendropriyono dan Anhar Gonggong. Tapi bagi Pontianak dan Kalimantan Barat, Sultan Hamid II bukan sekadar Pahlawan belaka, dia adalah pemimpin wilayah ini, turut pula menjadi pemimpin di bangsa dan negara ini? Bukankah hari ini Kalimantan Barat juga Indonesia?

0 Komentar