Sultan Hamid II Bukan Pengkhianat Bangsa

Sultan Hamid II Bukan Pengkhianat Bangsa
Konferensi KTN di Kaliurang, dari kiri Sultan Hamid II (Pontianak), Sri Sultan Hamengku Buwono IX serta KGPAA Paku Alam VIII foto/http://siks.bpadjogja.info
0 Komentar

Dia seorang KNIL kata Hendropriyono, tidak punya rasa nasionalisme, dia pro terhadap Belanda. Opini ini adalah perspektif buta, dengan menafikan sudut pandang lain. Kita tau bahwa KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) adalah kesatuan tentara hindia belanda. Isi manusia-manusia yang berada di dalam KNIL ini tidak hanya Sultan Hamid II. Ada TB Simatupang, Nasution, Urip Sumoharjo, dan banyak lainnya. Yang kemudian tetap berjuang bersama untuk mendapatkan kemerdekaan dan kedaulatan penuh di Indonesia. KNIL juga bersama VB, TNI, dan lainnya juga kala itu melebur bersatu dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Bukankah kita ketahui bersama, tanpa ada tendensi apa-apa. Bahwa mereka menggunakan cara masing-masing untuk mendapatkan kedaulatan itu. Kalau memang Sultan Hamid II tidak memiliki rasa nasionalisme, mengapa dia yang seorang Sultan itu, yang memiliki wilayah kedaulatan itu, memiliki rakyatnya sendiri itu, kemudian memberikan kedaulatannya kepada Indonesia? Mengapa dia rela berletih-letih waktu, pikiran, tenaga, untuk merancang lambang negara yang kita letakkan lebih tinggi dari gambar pemimpin-pemimpin kita itu? Ini semua di luar akal sehat kita yang ingin melihat sejarah yang terang benderang.

Titik krusial pernyataan Hendropriyono, yang kemudian memantik amarah dan kekesalan masyarakat Pontianak atau Kalimantan Barat adalah tuduhan “Pengkhianat Bangsa”. “Dia adalah Pengkhianat, bukan pejuang. Pengkhianat Bangsa Indonesia!”. Apa yang dia khianati? Siapa yang dia khianati? Sentimen politik atau sentimen perspektif barangkali memang seringkali mengaburkan nalar sehat kita, kala membenci seseorang. Pada tahun 1950, menurut Hendropriyono, masyarakat menginginkan integrasi bangsa, menjadi negara kesatuan. Sedangkan hal tersebut dicetuskan pertama oleh Natsir dalam mosi integralnya. “Sultan Hamid II tidak happy, dia tidak senang”. Seperti tuduhannya bahwa Sultan Hamid II ingin tetap menjadi federalis, tetap menjadi Sultan. Bukankah memang dia seorang Sultan, yang alas tanah Pontianak ini didirikan oleh nenek moyangnya? Federal adalah bentuk negara yang menjadi pilihan bersama, bukan seorang saja? Maka untuk mengubahnya juga perlu kesepakatan (baca: referendum) secara bersama pula.

Ini tidak adil. Kita baca kembali Pledoi (Nota Pembelaan) ketika Sultan Hamid II diadili pada tahun 1953 terkait tuduhan pembantaian yang dilakukan oleh Westerling di Bandung tahun 1950. Dalam pledoi-nya jelas Sultan Hamid II menyatakan bahwa “..sebagai diketahui, dari dulu hingga sekarang saya seorang yang berkeyakinan federalisme. Akan tetapi di atasnya itu, saya seorang putra Indonesia dan apabila rakyat saya menghendaki negara kesatuan dan menyatakan kehendaknya itu dalam suatu referendum atau pemilihan umum, sayalah yang pertama-tama akan tunduk kepada kehendak rakyat itu. Saya sesalkan benar bahwa aliran-aliran yang menghendaki negara kesatuan itu mengambil jalan yang inkonstitusionil untuk menghapuskan negara-negara bagian. Akan tetapi yang lebih-lebih menyinggung perasaan saya ialah, bahwa saya merasa terperdaya oleh wakil-wakil bangsa saya sendiri. Apakah gunanya Konperensi Antar-Indonesia? Apakah arti perkataan-perkataan dan ucapan-ucapan yang muluk-muluk dari para pemimpin RI? Buat apa RI mer-ratificeer UUD Sementara RIS? Apakah semua itu hanya merupakan sandiwara belaka?..”.

0 Komentar